Dalam sebuah
negara demokrasi, suara rakyat adalah fondasi utama keberlangsungan sistem
politik. Namun, sering kali rakyat dibuat pasif, diarahkan untuk percaya bahwa
aspirasi hanya bisa tersalurkan melalui jalur formal, melalui perwakilan yang
duduk di kursi legislatif. Kenyataannya, aspirasi itu kerap hilang, menguap,
atau bahkan diperdagangkan demi kepentingan politik sempit. Karena itu, rakyat
harus berani menyuarakan uneg-unegnya sendiri: bicara tentang ketidakpuasan,
layanan publik yang buruk, kesewenang-wenangan pemerintah, dan penindasan yang
mereka alami.
Kebebasan
berbicara bukanlah sekadar hak, tetapi juga kewajiban warga negara. Kebebasan
berpendapat adalah hak asasi yang melekat pada manusia sebagai makhluk yang
memiliki akal, dan dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Paulo Freire
(2005) dalam Pendidikan Kaum Tertindas menekankan bahwa penindasan bisa
bertahan karena rakyat dididik untuk diam. Dalam pandangannya, kesadaran kritis
(conscientizccao) harus ditumbuhkan agar rakyat tidak hanya menerima
kenyataan, melainkan mampu melawannya melalui refleksi dan tindakan. Suara
rakyat bukan sekadar keluhan, tetapi sebuah bentuk perlawanan terhadap struktur
kekuasaan yang timpang, yang dzalim!
Sayangnya,
demokrasi sering direduksi hanya sebagai rutinitas lima tahunan: rakyat diminta
memberikan suara saat pemilu, sementara setelahnya hak rakyat untuk bersuara
dipersempit. Hal ini senada dengan kritik Noam Chomsky (2017) yang menyebut
bahwa demokrasi modern sering kali hanya menjadi manufacturing consent,
sebuah mekanisme di mana persetujuan rakyat direkayasa, sementara aspirasi yang
sebenarnya dimarginalkan.
Ketika wakil
rakyat lebih sibuk dengan agenda pribadi, keluarga, dan kelompoknya, maka
menjadi keliru jika rakyat hanya berharap pada mereka. Peran rakyat sebagai
pengawas harus diperluas, tidak boleh berhenti pada mekanisme formal. Hannah
Arendt (1970) pernah menekankan bahwa politik sejatinya adalah ruang di mana
warga bertemu, berbicara, dan bertindak bersama. Dengan kata lain, diam adalah
kematian politik, sementara bicara adalah jalan untuk menghidupkan kembali
ruang publik.
Tentu,
berbicara menuntut keberanian. Sebab, di hadapan negara yang berwatak represif,
kritik sering dianggap ancaman. Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa
perubahan hanya mungkin lahir ketika rakyat berani membuka suara. Di Indonesia,
gerakan reformasi 1998 lahir bukan dari meja rapat parlemen, melainkan dari
keberanian mahasiswa dan rakyat biasa yang menyuarakan aspirasi secara langsung
di jalanan.
Selain itu,
rakyat harus menyadari bahwa pemerintah bekerja menggunakan dana pajak rakyat.
Artinya, layanan publik, infrastruktur, dan kebijakan bukanlah hadiah dari
penguasa, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan. Thomas Jefferson, salah
satu bapak demokrasi Amerika, pernah berkata: “When the people fear the
government, there is tyranny. When the government fears the people, there is
liberty.” (dalam Peterson, 2011). Kutipan ini menegaskan bahwa kekuasaan
harus selalu dikontrol oleh suara rakyat, bukan sebaliknya.
Dengan
demikian, keberanian rakyat untuk bicara harus dilihat sebagai bagian dari
pendidikan politik. Ini bukan sekadar soal menyampaikan uneg-uneg, melainkan
membangun tradisi kritis agar negara tidak terus menerus abai pada tanggung
jawabnya. Demokrasi sejati tidak bisa hanya mengandalkan elit politik; ia harus
berakar pada partisipasi rakyat yang aktif, kritis, dan berani menuntut
hak-haknya.
Pada
akhirnya, rakyat harus belajar untuk tidak lagi menitipkan sepenuhnya aspirasi
pada wakil rakyat yang sering gagal menjalankan amanah. Aspirasi harus
dihidupkan di jalanan, di ruang publik, di media sosial, di forum-forum
diskusi. Seperti yang dikatakan John Dewey (1927) bahwa demokrasi hanya akan
hidup jika publik itu sendiri hidup, berbicara, dan mengorganisir dirinya.
Maka, sudah saatnya rakyat berani bersuara—karena diam hanya akan memperpanjang
umur penindasan.
Tabik
Posting Komentar