Rindu yang Menjadi Darah

 

Rindu. Mula-mula ia adalah angin jahanam. Menyelinap senyap di belakang leher Maya, menggigit seperti bisul purba. Lalu ia menetap, menjelma beban batu di tulang rusuk. Jakarta mengisap. Apartemen sempit itu menjadi penjaranya yang paling kejam. Maya terkapar, hanya dipeluk hampa. Gemeretak… gemeretak… kerikil waktu mengganjal di selangkangan. Klakson meraung, sirene menjerit. Kota brengsek ini menggerogoti batas-batasnya. Batas kewarasan. Batas ingatan. Mana Rian? Mana bayangannya? Mana Maya yang dulu?

Dia lari. Melarikan diri dari apartemennya menuju kafe. Kopi hitam pekat diseruputnya. Pahitnya harus lebih tajam dari pahit jarak, pikirnya. Tapi… sengak! Aroma kopi membakar hidung. Aroma itu bukan kopi, melainkan Rian. Pagi-pagi di dapur kampung. Rian telanjang dada, tangannya menggenggam cangkir. Nyata.

"Kamu kenapa, May?"

Suara Laras, teman sekaligus mentornya di kantor, menyentakkan Maya dari lamunan. Laras menarik kursi dan duduk di hadapannya, tatapan matanya tajam dan penuh tanya. Mereka bertemu di sebuah kafe dekat kantor, tempat favorit Laras untuk mengobrol serius. Maya hanya menggeleng, jemarinya mengaduk sisa kopi di cangkir.

"Jangan bohong. Matamu sudah seperti mata panda," kata Laras, tanpa basa-basi. "Ini bukan lagi rindu. Ini sudah... obsesi. Maya, kamu tahu dia tidak akan pulang hanya karena kamu menderita di sini. Kalian sudah dewasa."

Maya mendongak. Di mata Laras, ia melihat cermin dari dirinya sendiri yang dulu. Pragmatis, realistis, dan tak kenal patah hati. Laras tahu tentang Rian. Tentang bagaimana Rian, seorang seniman jalanan yang tak suka diatur, memutuskan untuk mencari inspirasi ke pelosok negeri, meninggalkan Maya dengan janji kosong dan kata-kata puitis.

"Aku tahu dia bukan orang yang bisa diandalkan, Lar," bisik Maya, suaranya serak.

"Bukan masalah bisa diandalkan atau nggak, May. Masalahnya, dia cuma ada di kepala kamu." Laras meraih tangan Maya, menggenggamnya kuat. "Ada Budi. Dia ada. Dia nyata."

Budi. Namanya terasa hambar di lidah Maya. Budi adalah manajer proyek di divisi sebelah. Mapannya seperti kursi kantor, stabilnya seperti gedung pencakar langit. Ia selalu ada, mengirim pesan singkat setiap pagi, menawarkan makan siang, mengantar pulang.

"Budi? Dia... baik," jawab Maya, mencari kata yang tepat.

"Baik itu jauh lebih berharga daripada puitis, May. Budi bukan angin jahanam, dia tembok beton. Dia nggak akan bikin kamu hampa." Laras melepaskan genggaman tangannya. "Beri dia kesempatan. Budi adalah obat paling ampuh untuk rindu kamu."

Obat. Kata itu berputar-putar di kepala Maya. Setelah 155 hari terkurung rindu, ia lelah. Ia tak punya tenaga lagi untuk menahan beban di tulang rusuknya. Mungkin Laras benar. Mungkin ia harus mencoba. Sebuah keputusan, yang terasa lebih seperti penyerahan diri. Coba.

Malam Minggu tiba. Gelap. Layar bioskop terang. Budi duduk di sebelahnya. Ia memesan popcorn dan minuman bersoda. Bau popcorn busuk menguar. Budi mencoba merangkulnya, tapi gerakannya kaku. Maya menatap kosong ke layar. Pikirannya mencakar-cakar, merindukan tulisan Rian di kertas puisi. Huruf-hurufnya, terasa lebih hidup dari film sampah di hadapannya.

"Filmnya jelek, ya?" bisik Budi, suaranya canggung.

"Lumayan," jawab Maya, singkat.

"Sebenarnya aku cuma ingin menghabiskan waktu sama kamu," lanjut Budi.

Maya menoleh. Di mata Budi, ia melihat kejujuran dan ketulusan. Tapi, itu adalah kejujuran yang datar, ketulusan yang hampa. Seperti memandangi air kolam yang bening, tapi tak ada kehidupan di dalamnya. Tiba-tiba, Budi merangkulnya. Tangannya lembab, pelukannya pengap. Maya membiarkan. Kepalanya menempel di bahu Budi. Basi. Hangatnya palsu. Di tengah kerumunan, Maya menggigil. Sepi. Pelukannya hampa. Seperti memeluk asap.

Budi cuma pelarian. Sebuah ketiadaan. Lalu, kalimat Rian meledak di kepala, "...rindu-rindu telah mengimpit kita pada kedalaman entah, dan menginginkan sepotong bibir untuk dikulum."

Kedalaman entah. Jurang. Maya terjun bebas. Ia ingin mencengkeram Rian. Tapi jarak adalah tembok beton. Cinta? Bukan cinta kalau tak bisa saling menghancurkan badan. Langit-langit kamarnya retak, membentuk peta kekosongan. Maya berbisik, "Aku ingin tenang." Langit menjawab, "Rindu akan mengguncangmu. Manusia tak diciptakan tenang."

155 hari. Lelahnya pekat. Maya menumpuknya di bawah jok bus malam. Jakarta menjauh, pohon kelapa mencakar langit. Ia menghirup bau tanah. Bau daun terbakar. Bau kampung. Bau Rian.

Di dalam bus, Maya memejamkan mata. Ia membayangkan Laras yang akan memarahinya. "Kamu bodoh," mungkin begitu kata Laras. "Kamu meninggalkan orang yang nyata untuk ilusi."

Tapi apa gunanya kenyataan jika terasa kosong? Apa gunanya genggaman hangat Budi jika rasanya seperti memegang asap? Ia memilih ilusi yang terasa lebih hidup. Rian. Bahkan dalam bayangan, Rian lebih nyata daripada Budi.

Bus melaju. Lampu-lampu Jakarta perlahan mengecil menjadi titik-titik cahaya yang menghilang. Setiap kilometer yang ditempuh bus adalah sebuah pembebasan. Ia meninggalkan Budi, meninggalkan Laras, meninggalkan pekerjaan, meninggalkan segalanya yang membuatnya terperangkap dalam sangkar besi. Ia kembali ke asal. Ke tempat rindu tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi fondasi.

Ia tak tahu apakah Rian akan ada di sana. Atau apakah Rian bahkan masih mengingatnya. Tapi, ia harus pulang. Ia harus memastikan apakah rindu yang membatu di tulang rusuknya ini benar-benar ada, atau hanya halusinasi yang diciptakan oleh Jakarta yang kejam.

Subuh. Terminal kecil. Rian berdiri. Jaket kulit coklat. Rambut gondrong. Senyum itu persis. Maya melangkah, keraguan menggorok leher. Ini nyata atau ilusi?

Ia merengkuh Rian. Krak! Hampa pecah, hangat menerjang. Pelukan itu padat. Nyata. Air mata Maya tumpah. Ia membenamkan wajahnya di dada Rian, menghirup aroma keringat dan tanah basah. Aroma dia.

"Aku nggak percaya ini kamu," bisik Rian, suaranya serak, penuh haru.

"Aku pulang," kata Maya, terisak.

"Aku pikir kamu nggak datang." Rian membelai rambut Maya. "Jarak itu... setan."

"Tapi rindu bukti kita manusia. Terbatas." Maya mengutipnya, kalimat yang dulu dikirimkan Rian lewat surat yang beraroma kopi dan tanah.

Rian tersenyum. Genggaman tangannya mengeras. Ia mengambil koper Maya, dan menggenggam tangan itu erat. "Aku punya tempat. Buat rindu-rindu kita diam."

Mereka menyusuri pematang sawah. Matahari tersapu mendung. Embun menggantung di daun padi. Aroma lumpur menusuk. Aroma Rian. Damai? Mungkin.

"Kamu ingat itu?" Rian menunjuk pohon mangga tua di pojok Musholla. "Tempat kita berteduh kala hujan. Tempat kali pertama aku menyentuh bibirmu. Dan kamu berjanji akan selalu mengunjungi tempat ini."

Maya tertawa. Tawa itu menyembur. Kotor. Bebas. "Kamu juga kan? Katamu tempat itu adalah saksi kenangan terindah kita."

"Ya, dan kamu malah ngetawain aku. Kejam," Rian tertawa.

Crrr... Gerimis. Lalu hujan mengguyur deras. Rian menarik tangan Maya. Lari! Bukan ke pondok, tapi ke tengah sawah. Mereka berdiri di sana. Hujan melumat rambut, baju, kulit. Lumpur menelan sepatu.

"Kenapa kita di sini?!" teriak Maya, tawanya pecah.

Rian memeluk. Kuat. Tubuh mereka basah. Berdebar. Rindu yang mengimpit kini berubah wujud. Bukan lagi beban, tapi fondasi. Maya merasakan jantung Rian. Debar... debar... Mantap.

"Jarak itu memang setan," bisik Rian, suaranya teredam gemuruh hujan. "Tapi dia ngajarin aku satu hal, May. Bahwa aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu."

"Kenapa?"

"Karena aku rindu kamu sampai sakit."

Maya mendongak. Mata Rian: rumah.

Rian mendekat. Bibir mereka bertemu. Bukan ciuman. Tapi pertempuran. Lidah saling menggali. Rindu yang tertahan meledak. Gigitan kecil di bibir bawah Maya. Sakit. Manis. Maya mencengkeram baju Rian. Hancur. Larut. Lumpur. Hujan. Rian.

"Rindu kita enggak akan mengimpit lagi," bisik Rian. Suaranya tenggelam dalam deru hujan.

"Aku tahu," Maya menjawab, mulutnya menyentuh telinga Rian. "Karena rindu sudah jadi darahku."


0/Berikan Kritik - Saran/Comments