Dalam lanskap peradaban manusia, buku adalah lebih dari
sekadar kumpulan lembaran bertuliskan. Ia adalah denyut nadi ingatan kolektif,
jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan mercusuar yang
menerangi jalan menuju masa depan. Namun, di balik peran vitalnya, buku juga
menjadi saksi bisu dari salah satu ironi terbesar sejarah: penghancuran
sistematisnya. Fenomena inilah yang diurai tuntas oleh Fernando Báez dalam
karyanya yang monumental, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Báez, seorang penulis, penyair, dan esais Venezuela dengan
gelar doktor ilmu perpustakaan, memulai dan mengakhiri narasinya di Irak.
Sebuah pilihan yang ironis sekaligus menyayat hati, mengingat Irak adalah
tempat lahirnya tulisan dan peradaban, tetapi juga menjadi arena kehancuran
perpustakaan dan artefak budaya yang masif pada tahun 2003. Dengan latar
belakang akademis yang kuat dan pengalaman langsung sebagai anggota tim PBB
yang mendokumentasikan kehancuran di Irak, Báez memiliki otoritas unik untuk
membahas subjek ini. Melalui istilah "librisida" atau
"bibliosida"—pembunuhan buku yang terorganisir—ia mengajak kita
menyelami motif-motif kompleks di balik tindakan yang ia sebut sebagai pembunuhan
atas ingatan (murder of memory) dan anti-kreasi (anti-creation).
Salah satu perspektif paling menggugah yang ditawarkan Báez
adalah pengamatannya tentang siapa sesungguhnya para "biblioklas"
atau penghancur buku ini. Ia berargumen, "secara umum, biblioklas adalah
orang-orang terpelajar... anggota kelas menengah atau atas... dengan
hipersensitivitas religius dan sosial."
Pernyataan ini menampar asumsi umum bahwa penghancuran buku
adalah tindakan barbar yang dilakukan oleh mereka yang tidak berbudaya.
Sebaliknya, Báez menunjukkan bahwa seringkali, justru individu dengan kapasitas
intelektual dan status sosial yang menjadi agen penghapusan budaya, didorong
oleh keyakinan ideologis atau religius yang mendalam. Ini adalah ironi yang
menyakitkan: mereka yang seharusnya menjadi penjaga pengetahuan justru menjadi
algojo ingatan. Ancaman terhadap pengetahuan tidak selalu datang dari luar,
melainkan bisa bersifat internal, canggih, dan diterapkan secara sistematis
oleh mereka yang mengklaim diri sebagai penjaga kebenaran.
Báez menyusun kajiannya secara kronologis, membawa pembaca
dalam perjalanan kelam melintasi sejarah. Dimulai dari Dunia Kuno, kita
disuguhi kisah-kisah tragis seperti hancurnya ribuan tablet tanah (clay
tablet) di perpustakaan Babilonia, pembakaran papirus di Mesir, runtuhnya
perpustakaan Alexandria pada 48 SM, hingga pembakaran buku massal oleh Kaisar
Qin Shi Huang di Tiongkok pada 213 SM.
Kemudian, ia membawa kita ke periode Bizantium hingga Abad
ke-19, merinci serangan Mongol yang menghancurkan perpustakaan Baghdad pada
1258 dan Bonfire of the Vanities oleh Savonarola di Florence pada 1497.
Puncaknya, dalam Masa Modern, Báez mengulas pembakaran buku Nazi, kehancuran
selama perang saudara Spanyol, konflik di Amerika Latin dan Bosnia, hingga
penjarahan perpustakaan di Irak pada 2003—peristiwa yang ia dokumentasikan
langsung. Ia secara cermat menginvestigasi motif-motif di balik setiap tindakan
penghancuran ini, yang sangat beragam, mencakup keinginan penakluk untuk
memberantas budaya, intoleransi agama, sensor ideologis, serta kerusakan oleh
bencana alam dan buatan manusia.
Gaya penulisan Báez digambarkan sebagai teliti, padat, dan
sangat diteliti, hasil dari 10 hingga 12 tahun riset ekstensif yang didukung
oleh universitas-universitas terkemuka. Meskipun padat fakta, nama, dan
tanggal, ia berhasil menjaga tulisannya tetap jelas, menghibur, dan emosional. Beberapa
kritik menyebut buku ini terasa seperti "katalog" atau "daftar
cucian" kerugian budaya, yang mungkin menantang untuk dibaca dari awal
hingga akhir.
Namun, justru di sinilah letak kekuatan tersembunyi buku
ini. Báez tidak sekadar menyajikan daftar kering; ia secara cerdik menyertakan
diskusi tentang "mengapa" dan signifikansi dari setiap kehilangan.
Volume kehancuran yang didokumentasikan secara kumulatif memiliki efek yang
mematikan, membanjiri emosi pembaca dan menegaskan skala tragedi yang tak
terbayangkan. Ini bukan kekurangan, melainkan sebuah pilihan gaya yang
disengaja untuk menyampaikan dampak sesungguhnya dari "pembunuhan ingatan"
tersebut.
"Penghancuran Buku dari Masa ke Masa" telah
menerima resepsi yang bervariasi. Kekuatan utamanya terletak pada cakupan unik
dan penelitian mendalamnya, menjadikannya "sejarah tunggal pertama"
tentang penghancuran buku. Tesisnya yang provokatif, seperti argumen bahwa
"semakin berbudaya suatu bangsa atau seseorang, semakin bersedia mereka
untuk melenyapkan buku di bawah tekanan mitos apokaliptik," sangat
memprovokasi pemikiran. Buku ini juga kaya akan anekdot dan detail sejarah yang
menarik, seperti kisah St. Wiborada yang melindungi buku dengan tubuhnya, atau
detail tentang perubahan dalam Great Soviet Encyclopedia setelah
kematian Beria. Báez bahkan memberikan peringatan relevan tentang kerapuhan
format digital dan ancaman peretasan di era modern.
Ada pula kritik yang mencatat perlakuan yang tidak merata
dan tidak lengkap, misalnya untuk wilayah Afrika Sub-Sahara atau biblioklas
Tiongkok dan Soviet yang kurang mendalam. Nada yang tidak selalu akademis juga
menjadi poin kritik, meskipun "momen-momen semangat" ini justru
memperlancar alur. Keterbatasan sebagai sumber referensi juga disorot, di mana
banyak referensi dalam teks tidak dapat ditelusuri dengan mudah, memaksa
pembaca untuk "menerima perkataan penulis". Kritik paling tajam
bahkan menyatakan buku ini "tidak jujur dalam penggunaan fakta, salah
dalam teorinya, dan mendiskreditkan penulisnya."
Mengingat status persona non-grata Báez oleh otoritas
AS setelah bukunya tentang Irak, kritik negatif yang kuat ini mungkin berakar
pada ketidaksepakatan politik atau ideologis daripada murni kekurangan
akademis, terutama di bagian-bagian modernnya yang kontroversial.
Terlepas dari perdebatan kritis, karya Fernando Báez sangat
relevan dengan isu-isu kontemporer seperti sensor, perang informasi, dan
pelestarian digital. Meskipun bentuk buku telah berubah, ancaman terhadap
pengetahuan dan memori kolektif tetap ada dan terus berevolusi. Diskusi
mendalam Báez tentang penghancuran perpustakaan di Irak pada tahun 2003 secara
langsung menghubungkan sejarah kuno dengan konflik modern, menyoroti bahwa
"librisida" terus terjadi di zaman kita.
Di tengah narasi yang muram ini, terselip secercah harapan.
Báez secara tidak langsung juga menunjukkan ketahanan luar biasa dari semangat
manusia dalam membangun kembali pengetahuan. Ia mengamati bahwa "kita
terus membangunnya" (perpustakaan dan buku), dengan para biarawan,
pendeta, dan orang awam yang gigih menulis, mengumpulkan, mengkatalogkan, dan
menyimpan karya-karya yang menceritakan kisah kita satu sama lain sepanjang
milenia. Ini adalah pola sejarah berulang: periode penghancuran intens sering
diikuti oleh upaya gigih untuk membangun kembali.
Pada akhirnya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa adalah kontribusi penting dan tak ternilai bagi sejarah budaya dan ilmu perpustakaan. Meskipun subjeknya gelap dan seringkali menyedihkan, buku ini adalah karya yang "luar biasa dan perlu" yang menyoroti salah satu aspek paling tragis dan berulang dari sejarah manusia. Ini adalah "studi yang terpelajar dan manusiawi" yang memaksa pembaca untuk menghadapi kenyataan pahit tentang kerugian besar yang telah terjadi pada warisan intelektual manusia. Dengan secara cermat mengkatalogkan "pembunuhan ingatan" selama ribuan tahun,
Báez secara implisit mendesak pembaca untuk
mengenali kerapuhan pengetahuan manusia yang berkelanjutan dan kebutuhan vital
yang terus-menerus untuk pelestariannya. Ini adalah permohonan yang tenang tapi
gigih untuk kewaspadaan terhadap segala bentuk "librisida," baik
fisik maupun digital, disengaja maupun tidak disengaja. Kekuatan buku ini
terletak pada kemampuannya untuk memprovokasi pemikiran dan menginspirasi rasa
tanggung jawab tanpa menggunakan polemik yang terang-terangan. (*)
Posting Komentar