Hidup, barangkali, adalah sebuah percakapan antara yang kita inginkan dan yang datang. Sebuah pendulum yang berayun pelan, dari rindu yang memahat langit hingga penolakan yang membekas pada tanah. Seperti hujan. Ia turun dari kesendirian dengan membawa niatnya sendiri. Bagi sebagian orang, tetes demi tetesnya adalah doa yang akhirnya sampai; bagi yang lain, ia hanyalah jeda yang tak diminta, membasahi jemuran dan membatalkan janji.
Pada titik itu, kita tahu: tidak semua kedatangan akan diterima.
Kita begitu sering mengeja diri dari pantulan mata orang lain. Seolah nilai diri adalah ruang yang disediakan orang lain untuk kita. Kita menumpuk-numpuk pengakuan, seperti anak-anak mengumpulkan kerikil di pantai. Namun hidup, dengan caranya yang sunyi, mengajarkan bahwa merasa penting bukanlah tujuan—melainkan sebuah fatamorgana. Sebab, kita tak bisa memaksa semua orang untuk merindukan kedatangan kita, sama seperti hujan tak bisa menuntut setiap lahan atau tanah kering untuk haus atau merasa dahaga.
Lantas, apakah itu berarti kita kehilangan makna? Tidak. Di situlah kita justru menemukan keindahan dari sebuah jarak. Jarak yang bukan dingin, bukan canggung, tapi sebuah jeda yang memberi ruang bagi setiap ritme, setiap napas, dan setiap langkah. Kita tetap turun sebagai hujan yang jujur, dengan kesadaran bahwa tidak semua tanah akan sanggup menampungnya.
Di sisi lain, hidup juga melumatkan kita dalam pengalaman pahit ditolak. Ada yang meremehkan, ada yang menghina, ada yang menyingkirkan. Kadang-kadang dengan sengaja, atau lebih sering kali tanpa sadar. Dan luka itu, ia sering menuntut pembalasan. Ia ingin membiakkan hujan dendam. Tapi, boleh jadi justru di situlah saatnya kita mengambil kembali kemuliaan kita—bukan dengan amarah, melainkan dengan air mata yang memaafkan. Barangkali, seperti puisi, Maulana Rumi: “Luka adalah tempat di mana cahaya masuk ke dalam dirimu.”
Sebab memaafkan, sejatinya, bukanlah soal menghapus ingatan. Kita hanya mengakui bahwa manusia, betapapun rapuhnya, lebih besar dari luka itu sendiri. Kemuliaan tidak ditunggu dari orang lain, melainkan tumbuh dari kesanggupan kita menjaga nurani—bahkan ketika tak seorang pun memedulikan. Di sanalah kita menemukan bentuk hujan yang paling hening: ia turun tanpa mendaku, memberi tanpa meminta sambutan.
Dan mungkin, di suatu senja yang kering, seseorang akan tiba-tiba teringat. Teringat pada hujan yang pernah datang diam-diam. Hujan yang tak pernah merasa penting, tetapi tanpa sengaja telah menyelamatkan.
Posting Komentar