![]() |
Ilustrasi AI |
Zaman ini ditandai oleh paradoks besar dalam sejarah manusia. Di satu sisi, dunia belum pernah sedekat ini—jarak antarnegara dapat ditempuh dalam hitungan detik melalui layar, dan jutaan pesan dapat melintasi benua dalam sekejap.
Namun di sisi lain, manusia justru merasa kian terasing dan
sunyi secara batin. Koneksi digital berkembang pesat, tetapi percakapan
mendalam justru menjadi langka. Akses terhadap informasi tak terbatas, tetapi
kedekatan emosional kian terkikis.
Di tengah modernitas yang serba cepat dan dunia yang
terfragmentasi, silaturahim menemukan relevansinya kembali—bukan sekadar
sebagai tradisi kultural atau perintah agama, melainkan sebagai struktur
eksistensial yang menopang kualitas keberadaan manusia.
Paulo Freire (2006) menyatakan bahwa proses menjadi manusia sejati
adalah dengan dialog (percakapan). Bagi Freire, pendidikan sejati adalah
dialog berkelanjutan antara tindakan dan refleksi—sebuah proses yang juga hidup
dalam silaturahim, ketika manusia saling terhubung dan belajar dari realitas
sosial yang mereka jalani bersama.
Relasi yang tulus dan saling menerima merupakan tempat di
mana makna eksistensi dibangun, identitas dikokohkan, dan harapan dilahirkan.
Ketika relasi tercerabut—oleh sistem ekonomi yang impersonal, oleh budaya
digital yang instan, atau oleh trauma sosial—maka kehidupan kehilangan daya
hangatnya yang mendasar.
Revolusi digital membawa dampak ambivalen. Di satu sisi,
teknologi menghadirkan efisiensi dan kemudahan, namun di sisi lain, ia juga
menciptakan keterputusan relasional. Sosiolog Zygmunt Bauman (2000) menyebut masa kini
sebagai liquid modernity—zaman cair di mana semua relasi menjadi
sementara, dangkal, dan mudah dibatalkan.
Dalam realitas cair ini, relasi manusia rentan terhadap
instrumentalisasi dan disorientasi nilai. Persahabatan bisa lenyap karena
ketidaksepahaman ideologis; kolaborasi kerja bisa pupus oleh mekanisme
algoritmik. Di titik inilah silaturahim menjadi akar yang menguatkan: ia bukan
sekadar interaksi, melainkan kehadiran yang konsisten, kesetiaan dalam
keheningan, dan pengakuan atas nilai intrinsik setiap pribadi.
Silaturahim tidak bergerak di aras transaksional. Ia tidak
tunduk pada logika untung-rugi. Justru karena tidak terukur secara kuantitatif,
silaturahim menyimpan kekuatan spiritual yang memperkaya relasi dan memperkuat
komunitas.
Dalam konteks budaya kerja modern yang sering kali
menekankan produktivitas tanpa empati, silaturahim berperan sebagai ruang
pemulihan psikologis dan spiritual. Di ruang ini, manusia dapat hadir sebagai
subjek penuh, bukan sekadar unit produktif dalam sistem.
Temuan ini semakin memperkuat keyakinan bahwa silaturahim
bukan sekadar nilai budaya atau agama, tetapi juga kebutuhan dasar manusia
dalam menjaga kesehatan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, data dari WHO dan
Harvard Study berikut menjadi sangat relevan untuk memperkuat argumen tersebut.
Penelitian Harvard Study of Adult Development (2024), yang
berlangsung lebih dari delapan dekade, menunjukkan bahwa faktor utama dalam
kebahagiaan dan panjang umur bukanlah kekayaan atau prestasi akademik,
melainkan kualitas hubungan sosial yang hangat³.
Hal ini menegaskan bahwa silaturahim bukan hanya nilai
moral, tetapi kebutuhan eksistensial. Relasi sosial yang bermakna adalah sumber
kekuatan yang menopang ketahanan batin, imunitas emosional, dan makna hidup.
Sementara itu, laporan dari World Health Organization
(WHO) tahun 2023 dan berbagai studi global menunjukkan bahwa kesepian dan isolasi sosial
telah menjadi epidemi baru abad ini. WHO menyatakan bahwa kesepian merupakan
“prioritas masalah kesehatan masyarakat global yang diabaikan,” dengan dampak
kesehatan yang setara dengan merokok 15 batang rokok per hari, serta
meningkatkan risiko demensia hingga 50 persen dan stroke hingga 30 persen.
Studi longitudinal di berbagai negara maju menunjukkan bahwa tingkat kesepian meningkat signifikan pasca-pandemi, tidak hanya di kalangan lanjut usia, tetapi juga remaja dan pekerja usia produktif, hal tersebut bisa dibaca dalam laporan yang ditulis oleh The Guardian pada 16 November 2023,
Fenomena ini menjadi ancaman serius terhadap kesehatan
mental dan kohesi sosial, bahkan di negara-negara yang secara ekonomi dianggap
mapan. Dalam konteks ini, relasi sosial yang bermakna seperti silaturahim
menjadi bukan sekadar nilai kultural, melainkan kebutuhan eksistensial yang
mendesak.
Dalam konteks Indonesia, silaturahim bukanlah konsep asing.
Ia hidup dalam tradisi gotong royong, kenduri, arisan, dan musyawarah. Relasi
sosial yang dijalin secara informal ini justru menjadi infrastruktur yang
menopang keberlangsungan masyarakat ketika sistem formal melemah. Dalam
peristiwa bencana, krisis ekonomi, atau ketegangan politik, kekuatan
silaturahim terbukti menjadi simpul ketahanan sosial yang menyelamatkan. Modal
sosial seperti kepercayaan, altruisme, dan kolaborasi komunitas terbentuk dari
jaringan silaturahim yang diwariskan lintas generasi.
Namun demikian, tradisi silaturahim juga menghadapi
tantangan serius. Individualisme digital, tekanan kerja yang menumpuk, serta
budaya komunikasi yang instan dan serba cepat cenderung mereduksi kualitas
perjumpaan manusia. Dalam banyak kasus, silaturahim berubah menjadi formalitas
atau bahkan terputus karena polarisasi politik, identitas keagamaan, atau
stratifikasi sosial. Keadaan ini menunjukkan perlunya revitalisasi konsep
silaturahim—bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai praksis spiritual, sosial,
dan ekologis.
Silaturahim tidak berhenti pada ranah sosial. Ia menyentuh
dimensi spiritual terdalam manusia—hubungan dengan Tuhan, dengan sesama, dan
dengan alam. Dalam lintas tradisi keagamaan, relasi vertikal dengan Tuhan tidak
pernah bisa dilepaskan dari relasi horizontal dengan sesama. Dalam Islam,
silaturahim dianggap sebagai jalan untuk memanjangkan umur dan meluaskan
rezeki (HR. Bukhari - Muslim). Dalam tradisi Kristen dikenal istilah koinonia, dalam Hindu ada
tat tvam asi, dan dalam Buddhisme karuṇā—semua menunjuk pada satu
hal: bahwa hidup sejati hanya mungkin dalam perjumpaan dan kasih.
Dunia modern
membutuhkan lebih dari sekadar teknologi dan kebijakan publik. Ia membutuhkan peradaban
silaturahim: sebuah cara hidup yang mengakui keutuhan relasi sebagai
fondasi kebaikan bersama. Silaturahim di sini tidak dipahami sebagai tradisi
semata, tetapi sebagai energi spiritual dan praksis transformasional yang
menyentuh seluruh aspek hidup: keluarga, masyarakat, ekologi, pendidikan,
hingga dunia profesional.
Dalam situasi global yang makin bising, cepat, dan
terpolarisasi, silaturahim adalah bentuk revolusi senyap. Ia tidak
membakar sistem, tetapi membangun harapan. Ia tidak menciptakan kegaduhan,
tetapi menyalakan cahaya kepercayaan. Di balik setiap pelukan, doa, kunjungan,
dan kata-kata yang disampaikan dengan cinta, ada kekuatan yang bekerja
membangun kembali jembatan antarhati manusia.
Di sinilah silaturahim menemukan kekuatannya: ia tidak viral, tetapi kekal dan menyembuhkan. Ia tidak mencolok, tetapi mengokohkan. Ia tidak keras, tetapi mewaraskan. Dan barangkali, dalam dunia yang kelelahan dan kehilangan arah, inilah yang paling dibutuhkan: jalan pulang menuju keutuhan yang telah lama dilupakan: Silaturahim! (*)
Posting Komentar