![]() |
Ilustrasi AI |
Pak Guno punya sebuah ponsel pintar yang diberi nama
“Telinga Zaman.” Ponsel itu tidak pernah lelah bernyanyi, berteriak, menggeram,
bahkan kadang bersuara seperti orang sedang berdebat sengit di pasar. Pak Guno,
seorang pensiunan guru Bahasa Indonesia yang dulunya mengajar dengan mantra
"semua kata adalah puisi," kini merasa hidupnya diatur oleh Telinga
Zaman. Ia merasa lebih akrab dengan notifikasi yang berkedip-kedip daripada
dengan pantulan wajahnya di cermin.
"Telinga Zaman, kamu ini tukang gosip," bisik Pak
Guno suatu pagi, ketika layar ponselnya menyala tanpa permisi, menampilkan
deretan berita yang tak penting. Berita tentang artis yang ketahuan makan sate
kambing, atau tentang politisi yang salah memakai dasi. Telinga Zaman, seolah
mendengar, membalasnya dengan getaran kecil yang terasa seperti tawa sinis.
Ponsel itu telah menjadi semacam juru bicara dari jagat yang kian terajut
rapat, namun ironisnya, ia justru menciptakan rongga sunyi yang menganga dalam
batin Pak Guno.
Suatu sore, Pak Guno mencoba membaca kembali buku-buku lama.
Ia mengambil kumpulan puisi Chairil Anwar, berharap menemukan kembali nyala
kata-kata. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan satu bait, Telinga Zaman
sudah berbunyi nyaring. Sebuah pesan masuk, isinya hanya sebuah gambar kucing
lucu. Tak lama, notifikasi lain datang, menawarkan diskon besar-besaran untuk
alat pel lantai. Pak Guno menghela napas. Kata-kata di buku itu mendadak terasa
hambar, layu, kalah oleh riuh rendah yang tak ada habisnya. Ia merasa seperti
perahu tanpa sauh, terombang-ambing di lautan kebisingan digital.
"Dulu, kata-kata punya bobot," gumamnya,
meletakkan buku. "Satu kata bisa mewakili satu samudra makna. Sekarang,
ribuan kata hanya menjadi koin murahan di pasar validasi." Ia teringat
masa-masa ia mengajar, ketika ia meminta muridnya untuk diam sejenak, hanya
untuk mendengar detak jantung mereka sendiri. "Itulah musik
terindah," katanya waktu itu. Kini, detak jantungnya sendiri terasa
teredam oleh desakan suara dari luar.
Pak Guno mencoba memadamkan ponselnya. Mula-mula, ia hanya
menekan tombol silent. Sunyi sesaat. Lalu, ia merasa cemas. Ia takut melewatkan
sesuatu, takut dilupakan. Ketakutan itu, ia sadari, adalah bisikan Telinga
Zaman yang sudah meresap ke sumsum, menjadi kegaduhan eksistensial. Ia teringat
pada Jean Baudrillard, filsuf yang ia baca zaman kuliah dulu, yang menyindir
kita hidup dalam "dunia bayang-bayang." Pak Guno merasa Baudrillard
benar. Hidupnya kini terasa seperti gema dari hidup orang lain—mengikuti tren,
menanggapi postingan, berbagi kabar—tanpa pernah benar-benar hidup dalam
dirinya sendiri.
Esoknya, Pak Guno memutuskan untuk melakukan sesuatu yang
radikal. Ia mencabut Telinga Zaman dari stop kontak, mematikan total, lalu
menyimpannya dalam laci. Kamar Pak Guno mendadak dipenuhi keheningan yang
asing. Keheningan itu bukan kevakuman, melainkan ruang suci yang menantang. Di
sanalah, Pak Guno akhirnya bisa mendengar desau angin di luar jendela.
Mendengar suara cicak yang bersiul. Mendengar getaran kulkas yang dari dulu tak
pernah ia sadari. Ia duduk di kursi kerjanya, kursi yang dulunya setia mendengar
keluh kesahnya. Kursi itu, kini, kembali menjadi pendengar terbaik.
"Kursi, kamu tidak butuh koin validasi, ya?" tanya
Pak Guno pada kursi kayu yang sudah kusam. Kursi itu hanya diam, tapi diamnya
terasa hangat. Diam yang bukan berarti tak ada, melainkan kelahiran makna dari
rahim kesadaran. Pak Guno teringat ucapan Lao Tze yang ia kutip di papan tulis
sekolah: "Yang mengetahui tak berucap, yang berucap tak mengetahui."
Ia merasa ia sudah terlalu banyak berucap, terlalu banyak menanggapi, terlalu
banyak tahu hal-hal yang tak penting, hingga ia lupa esensi dari mengetahui itu
sendiri.
Ia mulai membersihkan rumah. Menyapu lantai yang berdebu.
Membersihkan jendela yang kotor. Setiap gerakan tangannya adalah bentuk
meditasi. Di tengah kesibukan yang sunyi itu, ia menemukan kembali dirinya. Ia
melihat sebuah foto lama, foto dirinya bersama istrinya, almarhumah Bu Rini,
sedang duduk di bawah pohon mangga. Bu Rini tersenyum lebar, matanya
memancarkan kedamaian. Pak Guno teringat, dulu mereka sering menghabiskan sore
di sana, hanya berdiam diri, menikmati angin. Mereka tak butuh kata-kata untuk
memahami satu sama lain. Keheningan adalah bahasa mereka.
"Kamu, istriku, adalah sufi paling bijaksana,"
bisik Pak Guno. "Kamu menjadikanku jalan mengenal Diri." Dan benar
saja, di tengah keheningan, bayangan Bu Rini hadir. Tidak berwujud, namun
terasa kehadirannya. Kehadiran yang penuh, yang dulu terlewatkan karena Pak
Guno terlalu sibuk mendengarkan Telinga Zaman.
Beberapa hari tanpa Telinga Zaman, Pak Guno mulai menemukan
ritme hidupnya kembali. Ia mulai merawat taman, menanam bunga-bunga yang dulu
ia lupakan. Ia merawat sebuah pohon kamboja yang sudah tua. Pohon itu tidak
butuh notifikasi untuk tahu kapan harus berbunga. Ia hanya diam, menunggu
saatnya tiba.
Suatu sore, ia kedatangan seorang tamu. Namanya Pak Heru,
mantan muridnya yang kini menjadi seorang jurnalis. Pak Heru datang dengan
kamera dan mikrofon. Ia ingin mewawancarai Pak Guno, untuk sebuah proyek
tentang "pahlawan tanpa tanda jasa."
"Pak Guno, bisa cerita sedikit tentang pengalaman Bapak
menjadi guru?" tanya Pak Heru, mengarahkan mikrofon.
Pak Guno terdiam sejenak. Ia melihat mikrofon itu, sebilah
benda yang bertugas menangkap suara. Ia teringat bahwa ia telah terlalu banyak
bersuara, terlalu banyak berucap, bereaksi sebelum merenung. Ia pun tersenyum
tipis.
"Hidup, Nak Heru," jawab Pak Guno, suaranya pelan
dan berwibawa, "hanyalah sebentuk kunjungan singkat."
Pak Heru terkejut. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.
"Maksud Bapak?"
"Ya, kunjungan singkat," ulang Pak Guno.
"Kita hanya mampir sebentar di dunia ini. Alangkah sayangnya jika waktu
kunjungan kita habis hanya untuk menanggapi suara-suara yang tidak perlu.
Seharusnya kita mendengarkan hal-hal yang penting. Angin. Hati kita sendiri.
Jantung kita. Itulah yang membawa kita pulang."
Pak Heru mencoba mendesak dengan pertanyaan lain, namun Pak
Guno hanya diam. Ia tersenyum, menatap mata Heru. Diamnya Pak Guno bukanlah
pelarian. Diamnya adalah kehadiran penuh. Di tengah hiruk pikuk pertanyaan Pak
Heru, diam Pak Guno adalah kejernihan yang menantang.
"Maaf, Pak," kata Heru akhirnya, menurunkan
mikrofon. "Saya tidak tahu harus menulis apa."
"Menulislah tentang keheningan," ujar Pak Guno,
masih dengan senyumnya. "Sebab kadang, diam adalah ujaran termurni. Dan di
zaman ini, keberanian sejati justru terletak pada keberanian untuk tidak
bersuara."
Pak Heru pulang dengan tangan kosong, namun batinnya terasa
penuh. Ia merasa seperti baru saja diwawancarai oleh keheningan itu sendiri.
Malam itu, Pak Guno kembali duduk di kursi kerjanya. Telinga
Zaman masih terdiam di dalam laci. Ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia
tidak lagi cemas dilupakan. Ia tidak lagi takut kehilangan kabar. Ia telah
menemukan oase sunyi di tengah padang pasir gegap gempita.
Ia mengambil selembar kertas kosong dan pulpen. Bukan untuk
menulis puisi tentang bunga-bunga, melainkan untuk menulis sebuah surat. Surat
untuk Telinga Zaman.
Isi surat itu singkat, hanya dua baris.
Untuk Telinga Zaman yang terkasih,
Kamu boleh terus bernyanyi, aku akan terus mendengarkan.
Tapi kali ini, aku akan mendengarkanmu dengan
keheninganku.
Pak Guno melipat surat itu, lalu memasukkannya kembali ke
dalam laci, di samping ponselnya. Ia tidak akan pernah tahu apakah Telinga
Zaman akan membaca suratnya. Tapi ia juga tidak butuh balasan. Sebab ia tahu,
kadang-kadang, menulis adalah bentuk terbaik dari doa. Dan doa, hanya butuh
keheningan untuk bisa didengarkan.
Posting Komentar