Tragedi Zara Qairina dan Luka Pendidikan

Ilustrasi


Di balik tembok asrama lembaga pendidikan, di mana mimpi-mimpi belia seharusnya tumbuh subur dalam ketenangan, terkadang tersimpan kisah pilu yang mengguncang nurani. Tragedi Zara Qairina Mahathir, seorang remaja putri berusia 13 tahun di Malaysia, adalah salah satu kisah itu. Zara, seorang anak yatim yang pendiam, memilih asrama pesantren sebagai rumah kedua untuk mengejar cita-citanya.

Namun, pada 16 Juli 2025, mimpinya terenggut secara tragis. Ia ditemukan tak sadarkan diri setelah diduga jatuh dari lantai tiga asramanya, dan meninggal keesokan harinya. Kasus ini dengan cepat menjadi viral, bukan hanya karena usia Zara yang masih sangat muda, tetapi juga karena serangkaian kejanggalan yang menyelimuti penyebab kematiannya. Narasi awal yang menyebutkan Zara jatuh sendiri dipertanyakan oleh kondisi tubuhnya yang ditemukan dengan kerusakan internal parah—jantung membengkak, tengkorak retak, kepala lembek berair—tapi wajahnya dilaporkan tanpa luka. Sebuah kontradiksi yang memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin?  

Kejanggalan ini semakin diperkuat ketika ibu Zara, Noraidah Lamat, secara mengejutkan menemukan memar di tubuh putrinya saat memandikan jenazah, sebuah detail yang tidak dilaporkan ke polisi pada pemeriksaan awal. Pengacara keluarga bahkan mengonfirmasi adanya "20 hingga 30 cedera" termasuk patah tulang.

Titik balik krusial yang mengubah persepsi publik adalah rekaman audio percakapan telepon antara Zara dan ibunya yang menjadi viral. Dalam rekaman tersebut, Zara terdengar menangis dan secara eksplisit menyebutkan ancaman dari seseorang yang disebut "Kak M" dengan kata-kata mengerikan: "Kalau aku sentuh kamu, kamu akan berdarah". Rekaman ini menjadi bukti kunci yang diajukan keluarga, memberikan "suara" pada korban dan secara langsung mendukung klaim perundungan.

Desakan publik yang meluas dengan tagar #JusticeForZara di media sosial akhirnya memaksa Jaksa Agung Malaysia untuk memerintahkan ekshumasi dan autopsi ulang jenazah Zara. Meskipun hasil autopsi kedua menyatakan penyebab kematian Zara adalah "cedera otak traumatis parah" yang "konsisten dengan jatuh dari ketinggian", pihak kepolisian federal Malaysia (Bukit Aman) menyatakan bahwa investigasi akan tetap fokus pada kemungkinan adanya unsur pidana, termasuk perundungan. Ini menunjukkan bahwa otoritas mengakui kompleksitas kasus dan tekanan publik untuk mencari kebenaran di luar penjelasan sederhana.  

Apakah tragedi Zara ini hanya masalah Malaysia? Sayangnya, tidak. Kisah pilu Zara Qairina adalah cermin buram yang memantulkan realitas serupa di dunia pendidikan berasrama kita, di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah merilis data bahwa kasus bullying ditemukan sekitar 87,6%, dengan korban laki-laki lebih banyak dari perempuan dan perilaku bullying lebih rentan terjadi pada usia remaja awal.

Data terbaru dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahkan melaporkan 114 kasus kekerasan di pesantren pada tahun 2024, yang mendorong PBNU membentuk satuan tugas khusus untuk menanganinya. Kita masih ingat kasus kematian santri di Pondok Gontor pada tahun 2022 karena dugaan penganiayaan oleh santri lainnya. Atau kasus santriwati di Jambi yang tewas mengenaskan , serta kekerasan di pesantren Malang di mana santri mengalami luka parah diduga dipukul pengasuh.

Kasus-kasus ini, baik di Malaysia maupun Indonesia, menunjukkan pola serupa: kekerasan yang berujung fatal di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak untuk belajar dan tumbuh. Sifat "tertutup" dari lingkungan asrama seringkali menciptakan kondisi di mana perundungan dan kekerasan lebih sulit dideteksi, dilaporkan, dan ditangani secara efektif. Ini dapat mengarah pada budaya "diam" atau respons institusional yang tidak memadai, bahkan kecenderungan untuk "menutup-nutupi" demi reputasi.  

Tantangan terbesar dalam kasus-kasus seperti ini adalah pembuktian bullying sebagai penyebab langsung kematian. Seringkali sulit dalam sistem hukum untuk membangun rantai kausalitas yang meyakinkan, terutama jika ada faktor lain yang dapat menjadi penyebab medis langsung, seperti jatuh dari ketinggian. Di Malaysia, kritik terhadap pengawasan dan regulasi yang ada menunjukkan bahwa undang-undang dan pedoman di bawah Kementerian Pendidikan dinilai tidak memberikan perlindungan komprehensif kepada pelajar berasrama, karena bersifat administratif tanpa kekuatan hukum yang jelas.

Ketiadaan Akta Perlindungan Pelajar dan Sekolah Berasrama yang mewajibkan audit keselamatan dan kesejahteraan tahunan oleh badan independen, serta ketiadaan pelaporan mandatori untuk semua kasus pelecehan, bullying, atau pengabaian, adalah kelemahan signifikan. Di Indonesia, meskipun pesantren telah beradaptasi dengan modernisasi dan memasukkan mata pelajaran umum , tantangan dalam memastikan keamanan anak tetap besar. Upaya PBNU membentuk satgas kekerasan adalah langkah positif, namun perlu didukung oleh kerangka hukum yang lebih kuat dan pengawasan eksternal yang independen dari pemerintah.  

Maka, kasus Zara Qairina adalah panggilan darurat bagi semua pihak untuk merefleksikan dan bertindak demi memastikan keamanan dan kesejahteraan anak-anak di lingkungan pendidikan. Ini adalah tanggung jawab kolektif kita, bukan hanya sekadar respons reaktif terhadap insiden. Kita perlu melangkah lebih jauh dari sekadar imbauan dan pedoman administratif.

Pertama, harus ada badan pengawas independen yang memiliki kekuatan hukum, bukan hanya di bawah kementerian terkait, untuk melakukan audit keselamatan dan kesejahteraan secara mandatori dan tanpa pemberitahuan di semua institusi pendidikan berasrama. Badan ini harus memiliki jalur pelaporan langsung ke penegak hukum dan lembaga perlindungan anak, bukan hanya ke pihak sekolah.

Kedua, kita harus menciptakan mekanisme pelaporan yang benar-benar aman, rahasia, dan mudah diakses bagi siswa, staf, dan orang tua, sehingga mereka dapat melaporkan insiden tanpa takut retribusi. Kisah Zara yang menelepon ibunya daripada melaporkan ke sekolah adalah bukti nyata kegagalan sistem internal.

Ketiga,   dukungan psikologis komprehensif harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan, tidak hanya untuk korban, tetapi juga untuk pelaku dan seluruh komunitas sekolah, guna mengatasi trauma dan akar masalah perilaku agresif. Keempat,   integrasi kurikulum yang mengedepankan empati, resolusi konflik, dan intervensi bystander perlu diperkuat, melampaui sekadar pendidikan karakter.

Terakhir, dan yang terpenting, diperlukan reformasi hukum yang spesifik, yang secara jelas mengatur standar keselamatan, mewajibkan audit independen, dan mengkriminalisasi kelalaian otoritas sekolah dalam kasus kekerasan fatal atau bahkan membekukan/menutup sekolah tersebut.

Kasus Zara Qairina, dengan segala kejanggalan dan kepedihannya, adalah pengingat pahit. Kita tidak boleh membiarkan mimpi anak-anak kita direnggut di tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua mereka. Mari kita pastikan tidak ada lagi Zara-Zara lain yang harus kehilangan mimpinya karena kekejaman yang tak terdeteksi di balik tembok asrama. Ini adalah momentum untuk membangun kembali fondasi moral dan etika dalam mendidik generasi muda, memastikan setiap anak berhak atas lingkungan yang aman untuk belajar dan tumbuh. Suara-suara yang menuntut keadilan bagi Zara harus menjadi katalisator bagi perubahan sistemik yang nyata, demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih aman dan beradab. (*)


0/Berikan Kritik - Saran/Comments