![]() |
Ilustrasi Wiki Sinaloa |
Kedatangan puluhan ribu kolonis Jawa ke Lampung dalam proyek
Kolonisasi Sukadana (1935-1942) sering kali dinarasikan sebagai awal dari
sebuah masyarakat multikultural. Pada tahap-tahap awal, interaksi antara para
pendatang dan masyarakat adat Lampung memang cenderung kooperatif, diwarnai
oleh semangat gotong royong dalam membuka hutan dan dilandasi oleh falsafah
hidup lokal piil pesenggiri, yang menjunjung tinggi keterbukaan terhadap
tamu (Fahira & Setiawati, 2022; Budianto, 2020).
Para pemimpin adat dari Marga Unyai dan Nuban bahkan secara
sukarela mengalokasikan sebagian dari tanah ulayat mereka untuk dijadikan
desa-desa baru bagi para migran (Fahira & Setiawati, 2022). Namun, harmoni
awal ini terbukti rapuh dan secara sistematis terkikis oleh kebijakan
pertanahan yang dirancang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akar
ketegangan sosial yang muncul kemudian bukanlah produk dari kebencian
antar-etnis yang inheren, melainkan merupakan konsekuensi langsung dari
rekayasa agraria kolonial yang secara fundamental mengadu domba kepentingan
kedua kelompok dan merampas hak-hak masyarakat adat.
Titik balik yang menjadi pemicu utama ketegangan adalah
keputusan pemerintah kolonial pada tahun 1940 untuk memasukkan tanah-tanah
Kolonisasi Sukadana ke dalam "hubungan marga" setelah tiga tahun
dibuka (Fahira & Setiawati, 2022). Di permukaan, kebijakan ini tampak
seperti sebuah upaya untuk menghormati dan mengintegrasikan para pendatang ke
dalam struktur pemerintahan adat yang sudah ada. Mekanismenya dirancang dengan
cerdik: para kolonis secara resmi menjadi "penduduk marga" dan
diwajibkan membayar pajak kepada para pemimpin marga (Fahira & Setiawati,
2022).
Namun, di balik pengakuan simbolis terhadap otoritas marga
ini, terdapat sebuah transaksi yang sangat merugikan masyarakat adat. Sebagai
imbalan atas status baru dan kewajiban pajak tersebut, pemerintah memberikan
hak milik perorangan yang dapat diwariskan kepada para kolonis, lengkap dengan
surat tanah resmi (Fahira & Setiawati, 2022). Kebijakan ini, pada
hakikatnya, adalah sebuah mekanisme legal untuk mengalienasi tanah ulayat
secara permanen.
Konsekuensi dari kebijakan ini sangat mendalam dan menjadi
sumber utama konflik. Pertama, masyarakat adat Lampung secara kolektif
kehilangan hak kepemilikan dan kontrol atas tanah leluhur mereka (Fahira &
Setiawati, 2022). Meskipun para pemimpin marga mendapat keuntungan pribadi
berupa sumber pendapatan baru dari pajak, hak komunal atas tanah yang menjadi
landasan sosial dan budaya mereka dibongkar dan digantikan oleh sistem
kepemilikan individual gaya Barat. Kompensasi yang diberikan pemerintah berupa
pembangunan infrastruktur publik seperti sekolah, jalan, dan irigasi tidak
pernah bisa sepadan dengan hilangnya aset fundamental tersebut (Fahira &
Setiawati, 2022).
Kedua, kebijakan ini menciptakan persepsi ketidakadilan yang
kuat di kalangan masyarakat asli. Mereka menyaksikan bagaimana pemerintah
secara konsisten memberikan fasilitas, subsidi, dan prioritas kepada para
transmigran, sementara hak-hak mereka sebagai penduduk asli justru terabaikan
dan terdesak (Budianto, 2020). Perasaan terancam ini diperparah oleh laju
pembukaan hutan secara masif yang mengurangi ruang hidup dan sumber daya yang
tersedia bagi mereka (Budianto, 2020; Tirtosudarmo, 2010).
Dalam dinamika ini, pemerintah kolonial memainkan peran
ganda yang sangat strategis. Di satu sisi, mereka adalah arsitek utama dari
ketegangan yang terjadi. Kebijakan rekayasa sosial dan agraria yang mereka
rancang secara fundamental adalah pemicu dari semua konflik. Di sisi lain,
mereka memposisikan diri sebagai mediator dan satu-satunya pihak yang memiliki
otoritas untuk menyelesaikan sengketa, misalnya dengan menerbitkan surat tanah
untuk memberikan kepastian hukum kepada para kolonis (Fahira & Setiawati,
2022). Ini adalah strategi klasik untuk mempertahankan kontrol, di mana
pemerintah menciptakan masalah lalu menawarkan solusi yang semakin memperkuat
cengkeraman kekuasaan mereka.
Simpulnya, berdasarkan beberapa sumber di atas (perlu kajian
lebih lanjut) ketegangan yang muncul di Lampung bukanlah sekadar benturan
budaya, melainkan hasil dari sebuah desain kebijakan yang secara sadar
mengorbankan hak-hak satu kelompok demi kepentingan program demografis dan
ekonomi kelompok lain, dan menanam benih konflik agraria yang warisannya akan
bertahan jauh melampaui era kolonial itu sendiri. (*)
Posting Komentar