![]() |
Ilustrasi AI/ChatGPT |
Andai suatu hari Willie Salim, sosok yang selama ini dikenal
sebagai arsitek kebaikan di era digital, memutuskan untuk mengalihkan sorot
cahaya panggungnya ke dunia literasi, maka kita mungkin akan menyaksikan sebuah
babak baru dalam sejarah gerakan membaca di Indonesia. Dengan lebih dari 75
juta pengikut di TikTok, 37,8 juta pelanggan YouTube, dan 15 juta pengikut
Instagram, pengaruhnya yang masif bisa menjadi bahan bakar bagi sebuah
transformasi sosial yang tak kalah besar dari segala aksi filantropinya selama
ini.
Selama ini, kita telah melihat perjalanan filantropi Willie
yang bergerak dari “beli dan beri” sederhana hingga warisan permanen berupa
pembangunan masjid di Semarang dan Jambi. Itu menandakan kematangan visi
sosialnya: dari aksi spontan menuju langkah strategis yang berjangka panjang.
Jika narasi “perintis, bukan pewaris” yang melekat pada dirinya mampu
menginspirasi jutaan orang untuk percaya bahwa perjuangan dari nol itu mungkin,
maka bayangkan bagaimana identitas itu bisa dirajut ke dalam kampanye literasi—sebuah
ajakan bahwa membaca adalah kepeloporan tertinggi di abad digital ini.
Namun, pengandaian ini lahir dari sebuah ironi. Buku yang ia
promosikan selama ini bukanlah literatur yang memantik imajinasi atau
memperluas cakrawala berpikir, melainkan tiket menuju pengalaman transaksional
seperti “lomba 1 miliar” atau grup eksklusif TikTok Affiliate. Andai mekanisme
itu dialihkan: dari sekadar transaksi menuju transformasi, dari keuntungan
finansial ke pemberdayaan intelektual—maka kita akan menyaksikan lahirnya
kampanye literasi yang berakar pada daya tarik yang sama, tetapi dengan tujuan
yang lebih luhur.
Mari bayangkan kampanye itu bernama “Buku untuk Masa
Depan.” Pesan utamanya sederhana tetapi kuat: membaca bukan sekadar hobi,
melainkan jalan menuju pemberdayaan diri, kemandirian, dan kepeloporan. Slogan
seperti “Pengetahuan adalah Kekuatan” dan “Membaca Itu Kreatif”
bisa menyulut antusiasme generasi muda, sama seperti tantangan TikTok yang
selama ini menggerakkan jutaan orang.
Gerakan ini tidak akan tampil sebagai CSR formal, melainkan
sebagai gelombang sosial yang organik. Basis penggemarnya, #WSARMY, bisa
bertransformasi dari audiens pasif menjadi pasukan advokat literasi. Bayangkan
TikTok dipenuhi tantangan membaca kreatif, YouTube menghadirkan seri “Willie
Mengunjungi Buku”, sementara Instagram menjadi galeri visual kampanye
literasi yang estetik dan kolaboratif. Mekanisme insentif tetap ada, tapi
diarahkan ulang: dari “lomba uang miliaran” menjadi “Lomba 1 Miliar
Kebaikan”—hadiahnya bukan uang tunai, melainkan perpustakaan baru,
beasiswa, atau akses literasi untuk anak-anak di daerah terpencil.
Puncaknya adalah lahirnya sebuah monumen nyata: Perpustakaan
Gen Z-First. Perpustakaan ini bukan sekadar rak buku berdebu, melainkan
ruang kreatif yang interaktif, modern, dan Instagramable. Ruang dengan
cahaya alami, tempat duduk nyaman, hingga dinding penuh mural motivasi. Di
dalamnya, teknologi akan menjadi fitur utama: studio podcast dan live
streaming, ruang kreatif dengan printer 3D dan perangkat lunak desain grafis,
hingga ruang Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR)
untuk pengalaman belajar yang mendalam. Koleksinya tidak hanya buku fisik, tapi
juga akses digital tanpa batas ke e-book, jurnal, dan konten edukasi
global.
Perpustakaan ini akan menjadi laboratorium ide, tempat anak
muda tidak hanya membaca, tetapi juga mencipta. Ada lokakarya literasi digital,
kelas coding, pelatihan produksi konten, hingga mentorship bagi mereka yang
ingin membangun jaringan sosial dan profesional. Singkatnya, perpustakaan ini
menjadi pusat kreasi sekaligus pabrik pengetahuan.
Andai ini benar-benar terwujud, merek Willie tidak lagi
berhenti pada spektakel kebaikan yang viral, tetapi berkembang menjadi
perubahan sistemik yang berkelanjutan. Ia akan dikenang bukan hanya sebagai
dermawan yang gemar memberi, tetapi sebagai visioner yang memberdayakan
generasi lewat pengetahuan.
Tentu tantangan akan ada: menjaga keaslian, memastikan
pendanaan jangka panjang, dan membangun keberlanjutan. Namun, dengan kekayaan
pribadi yang ia miliki, ditambah skema kolaborasi dengan CSR perusahaan, itu
bukanlah hal mustahil. Bahkan bisa menjadi cetak biru baru tentang bagaimana
seorang influencer melampaui konten yang fana untuk meninggalkan warisan abadi
berupa modal intelektual bagi bangsanya.
Andai Willie Salim benar-benar memulai langkah ini, maka ia
bukan hanya pionir di media sosial, tetapi juga pionir dalam sejarah literasi
bangsa. (*)
Posting Komentar