Antara Stoisisme Populer dan Filsafat Kritis

Photo by Marija Zaric on Unsplash

Fenomena kebangkitan minat terhadap Stoisisme di kalangan anak muda merupakan gejala kultural yang signifikan. Karya-karya Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius telah banyak diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan kini beredar luas, bukan sebagai teks akademis yang kering, melainkan sebagai panduan motivasi praktis di tengah zaman yang penuh ketidakpastian (Schuurman, 2019).

Pertanyaan kritisnya adalah mengapa anak muda lebih tertarik pada Stoisisme sebagai resep ketenangan daripada filsafat sebagai metode berpikir radikal? Kritik ini menyoroti ketegangan fundamental antara filsafat sebagai terapi personal dan filsafat sebagai alat subversif untuk menggugat realitas.

Tulisan ini memulai dengan argumen bahwa Stoisisme populer, dalam bentuknya yang terkomodifikasi, berisiko menumpulkan potensi kritis filsafat dengan mereduksinya menjadi produk self-help yang selaras dengan ideologi neoliberal. Dengan menelisik kembali konteks politik para Stoa kuno dan menghubungkannya dengan tradisi pemikiran kritis yang lebih luas, minat ini dapat menjadi gerbang menuju pemahaman filsafat sejati: sebuah keberanian untuk tidak hanya menanggung dunia, tetapi juga untuk mempertanyakannya.

Daya tarik utama Stoisisme populer terletak pada aksesibilitas dan janjinya akan pengendalian diri di tengah era yang sangat individualistis. Filsafat ini menawarkan kerangka kerja ‘swalayan’ untuk mengelola kekacauan internal yang disebabkan oleh tekanan eksternal, seperti kecemasan akan masa depan dan tekanan media sosial (Robertson, 2019).

Namun, fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sosioekonomi yang lebih luas. Ideologi neoliberalisme secara sistematis membingkai masalah-masalah struktural—seperti ketidakstabilan ekonomi dan kerentanan kerja—sebagai kegagalan psikologis individu (Rodriguez-Lopez, 2023). Dalam logika ini, individu didorong untuk menjadi wirausahawan bagi diri sendiri yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan mentalnya. Stoisisme yang disederhanakan menyediakan perangkat ideologis yang sempurna untuk subjek neoliberal ini: ia mengajarkan penerimaan terhadap nasib yang ditentukan pasar sambil berfokus pada optimalisasi kondisi internal.

Proses ini dapat dianalisis melalui lensa kritis Mazhab Frankfurt terhadap industri budaya. Menurut Adorno dan Horkheimer (1986), industri budaya memproduksi barang-barang budaya terstandarisasi yang berfungsi menenangkan massa dan mengintegrasikan mereka ke dalam logika kapitalisme. Stoisisme pop, dengan kutipan-kutipan inspirasional dan kiat-kiat hidup yang mudah dicerna, berfungsi sebagai produk industri budaya yang sempurna. Ia menawarkan skematisasi pengalaman yang membebaskan individu dari kerja keras berpikir kritis secara otentik, sehingga menetralkan potensi kritik dan perlawanan sosial (Adorno, 1991). Filsafat yang seharusnya menjadi alat emansipasi justru berubah menjadi sarana adaptasi terhadap tatanan yang tidak adil.

Untuk melawan pembacaan yang apolitis ini, penting untuk mengembalikan Stoisisme ke dalam konteks historisnya yang sarat muatan politik. Seneca bukanlah seorang bijak yang terasing, melainkan penasihat utama Kaisar Nero, yang hidupnya merupakan negosiasi penuh risiko antara idealisme filosofis dan realitas brutal kekuasaan (Griffin, 2008). Filsafat Epictetus menjadi jauh lebih radikal ketika dipahami berasal dari pengalamannya sebagai seorang budak; fokusnya pada kehendak (prohairesis) sebagai satu-satunya ranah kebebasan sejati adalah pernyataan politik yang mendalam tentang martabat manusia dalam kondisi penindasan total (Long, 2002).

Demikian pula, Meditasi Marcus Aurelius bukanlah buku self-help, melainkan latihan spiritual pribadi seorang kaisar-jenderal yang bergulat dengan tekanan perang, wabah, dan pemerintahan (Hadot, 1998). Konteks ini menunjukkan bahwa bagi kaum Stoa Romawi, filsafat adalah aktivitas politik berisiko tinggi, bukan sekadar pelarian yang menenangkan.

Sebagai model kultivasi diri yang lebih kuat, kita dapat beralih ke konsep perawatan diri (epimeleia heautou) dari Michel Foucault. Berbeda dengan imperatif neoliberal untuk optimisasi diri, Foucault (1988) membingkai perawatan diri sebagai praktik kebebasan dan perlawanan potensial terhadap kekuasaan yang menormalkan. Hal ini merupakan estetika eksistensi, yakni cara menata hidup yang berlawanan dengan norma-norma dominan, bukan metode untuk menjadi aktor pasar yang lebih efisien. Bahkan model Foucault pun ini dikritik karena fokus individualistisnya berisiko mengisolasi individu dan merusak pembentukan perlawanan kolektif (Myers, 2007).

Meski begitu, jalan ke depan bukanlah menolak minat pada Stoa, melainkan menggunakannya sebagai titik awal untuk penyelidikan filosofis yang lebih radikal. Tindakan fundamental filsafat, sejak Socrates, adalah pertanyaan kritis (elenkhus), sebuah metode dialogis yang dirancang untuk mengungkap kontradiksi dan mendorong otonomi intelektual (Benson, 2000). Preferensi terhadap formula yang sudah jadi, ketimbang kerja keras pemikiran kritis, dapat dilihat sebagai bentuk ketidakdewasaan yang ditimbulkan sendiri, sebagaimana didefinisikan oleh Immanuel Kant (1784). Moto Pencerahan Sapere Aude!—“Beranilah untuk mengetahui!”—adalah panggilan bagi keberanian intelektual yang dituntut oleh filsafat sejati.

Dari Stoisisme, pembaca dapat diarahkan pada cakrawala yang lebih luas. Pertanyaan Plato dalam Republik menggeser fokus dari kebajikan individu ke keadilan masyarakat, menunjukkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan (Annas, 1997). Sebagai antitesis dari penerimaan takdir Stoik, kritik genealogis Friedrich Nietzsche mengajak kita untuk ‘menilai kembali semua nilai’ dan mengungkap hubungan antara moralitas serta kekuasaan (Leiter, 2015). Sementara itu, eksistensialisme Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, di mana setiap pilihan individu membawa tanggung jawab radikal bagi seluruh umat manusia (Sartre, 1946).

Kesimpulannya, popularitas Stoisisme saat ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mencerminkan kerinduan tulus akan kearifan di tengah dunia yang bergejolak. Di sisi lain, ketika direduksi menjadi produk self-help, ia berisiko memperkuat sikap pasif dan mengaburkan fungsi utama filsafat sebagai alat kritik. Tantangannya adalah memanfaatkan minat awal ini sebagai batu loncatan. Perjalanan yang dimulai dengan Seneca tidak boleh berakhir di sana. Sebab, filsafat sejati tidak hanya mengajarkan cara hidup tenang, tetapi juga menumbuhkan keberanian untuk mempertanyakan, menggugat, dan pada akhirnya mengubah dunia. (*)

 

 

0/Post a Comment/Comments