Generasi Z dan Evolusi Buku

Ilustrasi AI


Di tengah ekosistem teknologi yang terus berevolusi, Indonesia menyaksikan pergeseran demografi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, kini menjadi populasi terbesar di negeri ini, membentuk tulang punggung masa depan yang diimpikan dalam periode bonus demografi. Namun, kehadiran mereka membawa paradoks yang mendesak: meskipun disebut sebagai “penduduk asli dunia digital” dengan akses informasi tak terbatas, kekhawatiran mengenai minat baca dan literasi mendalam mereka terus meningkat.

Alih-alih memandang fenomena ini sebagai tanda kepunahan budaya membaca, lebih tepat jika kita memahami situasi tersebut sebagai sebuah transformasi. Minat baca Generasi Z tidak hilang, melainkan mencari bentuk baru yang relevan dengan ekosistem digital mereka. Tantangan yang sesungguhnya adalah bagaimana mengarahkan pergeseran ini menjadi fondasi literasi kritis yang kuat, tidak hanya bagi Generasi Z, tetapi juga Generasi Alpha yang akan datang.

Kajian menunjukkan bahwa Generasi Z mahir melakukan multitasking dan mampu menyerap informasi dengan cepat, berkat paparan teknologi sejak usia dini. Mereka menghabiskan rata-rata lebih dari delapan jam per hari untuk mengakses media digital, dengan media sosial sebagai gerbang utama dalam menemukan informasi. Preferensi ini secara alami menggeser ketertarikan pada konten cetak yang panjang, menuju format singkat, visual, dan interaktif. Dilema pun muncul: mereka mendambakan informasi yang komprehensif, tetapi rentang perhatian yang terfragmentasi membuat mereka mudah bosan serta terdistraksi oleh notifikasi dan hiburan digital. Masalah ini bukan semata-mata kurangnya keinginan membaca, melainkan terbatasnya kemampuan atensi akibat lingkungan hiper-stimulatif.

Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya literasi digital kritis. Meskipun terampil secara teknis, Generasi Z kerap kesulitan mengevaluasi kredibilitas sumber informasi. Akibatnya, mereka rentan terhadap disinformasi dan hoaks yang marak di internet. Membaca saja tidak cukup; mereka perlu dibekali kemampuan membaca secara kritis serta memilah informasi dengan bijak di tengah banjir konten. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang berani, adaptif, dan menempatkan teknologi sebagai jembatan, bukan musuh.

Salah satu solusi ialah memanfaatkan teknologi untuk menumbuhkan minat baca. Perpustakaan dan institusi pendidikan dapat berinovasi dengan menyediakan layanan digital, seperti perpustakaan daring atau aplikasi buku elektronik—misalnya iPusnas dan iKaltara. Pendekatan ini membantu mengatasi keterbatasan waktu dan mobilitas yang sering dialami Generasi Z. Lebih jauh, integrasi gamifikasi—dengan poin, lencana, atau papan peringkat—terbukti efektif meningkatkan motivasi serta keterampilan membaca, menjadikan kegiatan membaca lebih menarik. Kecerdasan buatan (AI) pun dapat digunakan untuk mempersonalisasi rekomendasi bacaan sesuai minat dan kemampuan individu.

Selain teknologi, penting pula mengoptimalkan kekuatan komunitas sosial yang menjadi ciri khas Generasi Z. Fenomena BookTok di TikTok membuktikan bahwa membaca dapat menjadi pengalaman sosial yang otentik sekaligus menyenangkan. Komunitas ini tidak sekadar mempromosikan buku, melainkan menjadikan membaca sebagai bagian dari identitas sosial. Di dunia nyata, perpustakaan tradisional pun perlu bertransformasi menjadi “ruang ketiga” yang nyaman, modern, dan kolaboratif. Dengan fasilitas multimedia, diskusi buku, atau lokakarya literasi digital, perpustakaan dapat kembali relevan sebagai pusat komunitas yang hidup bagi Generasi Z.

Namun, menumbuhkan minat baca hanyalah separuh perjuangan; menjaga konsistensi justru menjadi tantangan yang lebih besar. Strategi harus diarahkan pada pembentukan kebiasaan melalui langkah berkelanjutan. Membaca 10–15 menit setiap hari dapat menjadi fondasi yang kuat. Memanfaatkan waktu senggang, seperti saat menunggu, juga dapat membantu mengintegrasikan membaca ke dalam rutinitas. Kunci sesungguhnya ada pada penemuan “satu buku yang membuat jatuh cinta pada membaca.” Ketika motivasi intrinsik itu muncul, kebiasaan membaca akan tumbuh dan bertahan.

Di luar Generasi Z, kini muncul Generasi Alpha—lahir antara tahun 2010 hingga 2024—sebagai digital natives sejati. Sejak kecil, mereka sudah terbiasa dengan perangkat pintar dan kecerdasan buatan. Tantangan mereka bahkan lebih berat: rentang perhatian yang lebih pendek serta risiko kecanduan gawai yang lebih tinggi. Karena itu, pendekatan literasi bagi Generasi Alpha harus semakin adaptif. Peran orang tua dan pendidik menjadi sangat krusial dalam menyeimbangkan penggunaan teknologi dan menanamkan literasi digital kritis sejak dini. Teknologi imersif seperti augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) dapat dimanfaatkan agar pembelajaran menjadi lebih menarik.

Akhirnya, masa depan literasi di Indonesia tidak akan ditentukan oleh perlawanan terhadap teknologi, melainkan oleh kemampuan kita beradaptasi dan memanfaatkannya secara strategis. Dengan sinergi seluruh ekosistem—pemerintah yang menjamin pemerataan akses digital dan buku, institusi pendidikan yang berinovasi dengan metode interaktif, penerbit yang menyesuaikan diri dengan format digital, serta keluarga yang memberi teladan literasi—tantangan dapat diubah menjadi peluang. Inilah saatnya membangun masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan berpengetahuan di era digital, di mana membaca bukan lagi kewajiban, melainkan kebahagiaan yang dapat diakses, dibagikan, dan dihidupkan kembali dalam bentuk yang paling relevan.(*)

 

0/Post a Comment/Comments