Jalan Berliku Pengabdian Rahayu Saraswati

 


Di tengah lanskap politik Indonesia yang acap kali terasa monoton, keputusan seorang politisi muda untuk melepaskan kursi empuk di parlemen adalah peristiwa langka yang tak hanya mengejutkan, tetapi juga membuka tabir dinamika kekuasaan dan citra di era digital. Inilah yang terjadi pada Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, sosok yang kariernya tidak hanya diukir oleh kerja keras, tetapi juga oleh privilege yang ia akui sendiri, sebuah kata yang menjadi kunci utama dalam kontroversi terbarunya. 

Pada 11 September 2025, secara tiba-tiba, ia mengumumkan pengunduran dirinya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, memicu spekulasi yang menggemparkan dan menempatkannya di pusat pusaran politik. Dan, untuk memahami makna dari langkah dramatis ini, kita harus mundur sejenak dan menelusuri jejak multidimensi yang telah ia tempuh.

Perjalanan Rahayu, atau yang akrab disapa Sara, adalah narasi yang kompleks. Lahir pada tahun 1986 sebagai putri dari pengusaha Hashim Djojohadikusumo dan keponakan Presiden Prabowo Subianto, ia memasuki arena publik bukan dari jalur politik konvensional, melainkan dari panggung seni dan hiburan. Namanya mulai dikenal luas sebagai aktris, terutama melalui perannya sebagai Senja dalam trilogi film Merah Putih. 

Tak hanya itu, ia juga menjajal profesi sebagai presenter televisi, mengasah kemampuan komunikasi yang esensial di kemudian hari. Secara paralel, ia membangun portofolio bisnisnya, menjabat sebagai direktur dan komisaris di sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga. Kekayaan pribadinya pun menunjukkan lintasan kenaikan yang stabil, dari Rp12,44 miliar pada tahun 2014 menjadi Rp27,83 miliar pada 2024–2025, menggarisbawahi posisinya yang mapan. 

Namun, di antara semua peran itu, satu identitas yang paling ia perjuangkan adalah aktivis antiperdagangan manusia. Ia mendirikan Yayasan Parinama Astha, yang berfokus pada empat pilar utama—Pencegahan, Intersepsi, Penuntutan, dan Re-integrasi—sebuah misi yang ia sebut sebagai panggilan hidupnya yang kedua.

Jejak politiknya dimulai sejak bergabung dengan Partai Gerindra pada tahun 2008, dan ia berhasil meraih kursi DPR RI untuk periode 2014–2019. Selama masa jabatan pertamanya di Komisi VIII yang membidangi agama dan sosial, ia secara konsisten menyuarakan isu-isu perlindungan perempuan dan anak, termasuk menjadi salah satu lobis untuk memuluskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait kekerasan seksual

Tak selalu mulus, Sara pernah gagal dalam kontestasi Pemilu 2019, tapi meskipun gagal terpilih ia tak patah, ketahanan politiknya terbukti saat ia kembali memenangkan kursi DPR pada Pemilu 2024, kali ini dari Dapil DKI Jakarta III, dengan raihan suara terbanyak di partainya untuk dapil tersebut. Di masa bakti keduanya, ia ditugaskan sebagai Wakil Ketua Komisi VII yang membidangi energi dan riset, sebuah peran yang menunjukkan evolusi fokus politiknya. Namun, kariernya di parlemen kali ini harus berakhir lebih cepat, disulut oleh kontroversi dari sebuah pernyataan yang ia lontarkan.

Pada Agustus 2025, sebuah potongan video podcast yang sebenarnya telah tayang sejak Februari 2025, kembali viral dan menuai kecaman. Rekaman tersebut berdurasi 42 menit, tetapi kemudian dipotong dan hanya diambil pada menit ke-25 hingga menit ke-27. Kala itu, Rahayu tengah membicarakan isu seputar lapangan kerja, tetapi pernyataannya itu dipenggal sehingga terkesan mendorong para generasi muda untuk tidak bergantung pada pemerintah, melainkan mencoba peruntungannya sendiri.

Kritik pedas mengalir deras, menyoroti pernyataan tersebut sebagai contoh nyata ketidakpekaan dan arogansi akibat privilege. Respons Rahayu sangat cepat dan strategis: ia tidak defensif, melainkan mengunggah permintaan maaf terbuka dan secara eksplisit mengakui privilege yang ia miliki, baik dari sisi keluarga maupun dukungan finansial, dalam memulai usaha. Langkah ini, yang jarang dilakukan politisi di Indonesia, menggerakkan spekulasi bahwa pengunduran dirinya bukan sekadar reaksi emosional, melainkan sebuah manuver yang telah direncanakan.

Pengumuman pengunduran dirinya dari DPR, yang ia sampaikan hanya dua hari setelah Presiden Prabowo melakukan reshuffle kabinet, semakin memanaskan rumor bahwa ia sedang dipersiapkan untuk posisi di eksekutif. Isu yang paling santer terdengar adalah jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), sebuah kursi yang kini kosong. Isu ini menempatkan Presiden Prabowo dalam dilema politik yang signifikan: di satu sisi, ia membutuhkan orang-orang terdekat yang loyal, namun di sisi lain, penunjukan keponakannya sendiri dapat memicu tuduhan nepotisme. 

Terlepas dari itu, Rahayu Saraswati menegaskan bahwa perjuangannya untuk Indonesia yang lebih baik tidak harus dari kursi legislatif, dan ia berkomitmen untuk terus berjuang melawan perdagangan orang dan isu-isu sosial lainnya melalui berbagai organisasi yang ia pimpin . Perjalanan Rahayu Saraswati adalah potret modern dari seorang politikus yang navigasinya dibentuk oleh latar belakang yang istimewa, kemandirian profesional, dan pemahaman yang tajam tentang pentingnya citra publik. Ia tidak sekadar mundur, tetapi melangkah maju menuju panggung yang berbeda, dan publik kini menanti apakah langkah strategis ini akan menempatkannya di pusat kekuasaan yang sesungguhnya. (*)


0/Post a Comment/Comments