Dalam wacana Islam kontemporer, tidak ada istilah yang lebih
sering disalahpahami, bahkan didistorsi, selain jihad. Akar kata Arab jahada,
yang secara harfiah berarti "mengerahkan kekuatan dan upaya," sering
kali direduksi maknanya menjadi semata-mata konflik atau perang fisik. Padahal,
secara historis-teologis, jihad sejak awal dipahami sebagai konsep
multidimensi. Ia mencakup spektrum perjuangan yang luas: mulai dari pertempuran
batin melawan hawa nafsu (jihad al-nafs), upaya membangun masyarakat,
hingga pengerahan daya pikir dalam pencarian ilmu.
Di tengah krisis misinformasi, hoaks keagamaan, dan narasi
radikalisme yang kian merebak di era digital, muncul kembali sebuah paradigma
lama yang relevan untuk dihidupkan: Jihad Literasi.
Secara konseptual, Jihad Literasi dapat dimaknai sebagai
“perang melawan kebodohan” yang bertujuan mencegah umat Islam terjerumus dalam
jurang jahiliyah modern. Konsep ini bukanlah gagasan baru, melainkan berakar
kuat pada tradisi intelektual Islam yang dimulai dari wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad SAW, yakni: Iqra’ (Bacalah). Perintah ini bukan
sekadar ajakan membaca teks, melainkan seruan untuk merenung, berpikir kritis,
meneliti, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etos inilah yang
kemudian melahirkan kejayaan peradaban Islam, dengan pusat-pusat ilmu seperti
Bayt al-Hikmah di Baghdad.
Keterkaitan antara perjuangan fisik dan intelektual semakin
ditegaskan oleh hubungan etimologis antara jihad dan ijtihad.
Keduanya berasal dari akar kata yang sama, J-H-D (ج-ه-د), yang
menandaskan bahwa setiap pengerahan daya (optimalisasi potensi)—baik di medan
perang maupun di medan ilmu—merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Ijtihad,
yang dimaknai sebagai upaya intelektual seorang ahli fikih untuk menemukan
solusi hukum, adalah wujud jihad intelektual yang terlembaga dan berdisiplin.
Praktik ijtihad ini mendapat legitimasi langsung dari
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tergambar dalam dialog beliau dengan Mu’adz bin
Jabal sebelum diutus ke Yaman. Saat itu, Mu’adz menyatakan, saat diajukan perkara
kepadanya dan ia tidak menemukan jawaban dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka ia
akan melakukan ijtihad. Secara historis, kisah ini menunjukkan bahwa
Islam memiliki mekanisme internal untuk beradaptasi dengan perubahan zaman
tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Meski dalam pandangan populer jihad sering direduksi menjadi
konflik fisik atau perang, tradisi Islam yang lebih luas justru menempatkan
perjuangan intelektual pada posisi yang mulia. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali
Syaikh, ulama kontemporer, menegaskan bahwa firman Allah dalam QS. Al-Furqan
[25]:52, “Berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang
besar,” adalah perintah untuk berjihad dengan ilmu. Bentuk jihad ini
disebut besar (kabīr) karena pengaruhnya mendalam dan berjangka panjang,
jauh melampaui efek sesaat dari konflik fisik.
Pandangan tersebut diperkuat oleh ulama klasik seperti Ibn
Taymiyyah, yang menempatkan jihad al-nafs sebagai fondasi dari seluruh
jihad. Bahkan meski hadis tentang “jihad melawan hawa nafsu” sebagai “jihad
terbesar” dinilai lemah sanadnya, maknanya tetap diakui sahih oleh banyak ulama
karena selaras dengan ajaran Islam mengenai pentingnya pembentukan diri.
Di Indonesia, urgensi Jihad Literasi semakin nyata. Tingkat
literasi kritis masyarakat masih sangat rendah, sehingga mudah terpapar hoaks
agama, ujaran kebencian, dan propaganda radikal. Para pemikir Muslim modern
menekankan pentingnya respons proaktif. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar
Nashir, misalnya, memandang literasi bukan sekadar keterampilan teknis,
melainkan “instrumen refleksi, pembebasan, dan peradaban” (Nashir, 2025). Ia
menekankan bahwa dakwah harus berjalan seiring dengan penguatan budaya
literasi, termasuk kemampuan mengolah informasi secara kritis.
Pandangan ini sejalan dengan gerakan Jihad Milenial
yang memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan narasi Islam moderat,
toleran, dan inklusif—sebagai wujud Islam rahmatan lil ‘alamin. Upaya
serupa juga tampak dalam Gerakan Literasi Sekolah (GELAS) di berbagai daerah,
yang tidak hanya mendorong kemampuan membaca Al-Qur’an dan teks keagamaan,
tetapi juga membangun daya kritis siswa sebagai benteng awal dari kebodohan
agama.
Jadi, Jihad Literasi merupakan panggilan untuk
melakukan reorientasi mendasar dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Fokusnya bergeser dari ranah eksternal yang rawan kekerasan menuju ranah
internal dan intelektual yang menghasilkan pencerahan dan pembangunan
peradaban.
Perjuangan sejati di era modern bukanlah menaklukkan musuh
di medan tempur, melainkan mengalahkan kegelapan kebodohan dalam diri kita sendiri
dan masyarakat luas. Inilah jihad yang membangun kembali kejayaan
peradaban—bukan dengan agresi, melainkan dengan ilmu, pemikiran kritis, dan
pengabdian berkelanjutan. Sebuah perjuangan yang dimulai dengan pena, dihayati
dengan akal budi, dan dituntaskan dengan komitmen demi kemaslahatan bersama.
(*)
Posting Komentar