![]() |
| Ilustrasi AI/ChatGPT |
Kedaulatan ekonomi rakyat selalu menjadi cita-cita besar
bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan. Para pendiri republik menyadari bahwa
kemerdekaan politik tidak akan bermakna bila tidak dibarengi dengan kemandirian
ekonomi. Bung Hatta, yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, menegaskan
bahwa koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional. Pandangan itu lahir
dari keyakinan bahwa koperasi, dengan prinsip kebersamaan dan gotong royong,
adalah bentuk paling autentik dari demokrasi ekonomi: rakyat berdaulat atas
sumber-sumber produksinya sendiri.
Namun, perjalanan koperasi tidak selalu mulus. Banyak
koperasi yang gagal berkembang karena praktik manajemen yang lemah,
birokratisasi, hingga korupsi. Citra koperasi pun kerap terdegradasi menjadi
sekadar papan nama tanpa kegiatan produktif. Meski demikian, idealisme koperasi
tidak pernah benar-benar padam. Gelombang digitalisasi dan transformasi ekonomi
pasca-pandemi justru memunculkan momentum baru untuk menghidupkan kembali
koperasi sebagai wadah modern yang mampu menjawab kebutuhan rakyat.
Pemerintah pada tahun 2025 meluncurkan gagasan besar yang
dikenal sebagai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Program ini dimaksudkan
untuk menghadirkan koperasi di hampir seluruh desa dan kelurahan di Indonesia,
dengan target sekitar 80.000 unit koperasi. Presiden Prabowo Subianto
meresmikan kelembagaan 80.081 Koperasi Merah Putih pada 21 Juli 2025,
menandai tonggak sejarah baru dalam gerakan koperasi nasional. Kehadiran
koperasi ini bukan sekadar simbol administratif, melainkan instrumen strategis
untuk memastikan bahwa setiap desa memiliki lembaga ekonomi rakyat yang nyata,
yang berfungsi melayani kebutuhan dasar warganya.
Koperasi Merah Putih dirancang dengan model usaha
multipihak. Unit simpan pinjam, toko sembako, logistik, cold storage,
hingga layanan kesehatan sederhana menjadi bagian dari ekosistem yang dibangun.
Tujuannya jelas: memutus mata rantai ketergantungan rakyat pada rentenir,
tengkulak, dan mekanisme pasar yang sering merugikan petani serta nelayan.
Dengan koperasi, distribusi barang kebutuhan pokok dapat dilakukan lebih adil,
akses modal diperoleh dengan bunga rendah, dan keuntungan ekonomi bisa kembali
ke anggota, bukan lari ke segelintir pemodal besar.
Dalam konteks global, koperasi juga memiliki potensi menjadi
bentuk perlawanan terhadap dominasi korporasi multinasional. Ekonomi digital
yang didominasi platform besar kerap menyingkirkan pelaku kecil, termasuk UMKM
di desa-desa. Dengan koperasi, desa dapat memiliki platform e-commerce
berbasis komunitas, yang menghubungkan produsen lokal dengan pasar lebih luas
tanpa terjebak pada monopoli digital. Hal ini sejalan dengan semangat
kedaulatan digital yang kini banyak didorong dalam wacana post-digital
governance: rakyat bukan sekadar konsumen pasif, melainkan subjek yang
menguasai teknologi untuk memperkuat posisi tawarnya.
Namun, keberhasilan koperasi tidak bisa hanya mengandalkan
regulasi dan peresmian kelembagaan. Tantangan besar terletak pada kualitas
pengelolaan dan integritas pengurus. Sejarah membuktikan banyak koperasi gagal
karena dikelola secara asal-asalan atau dijadikan alat politik jangka pendek.
Oleh karena itu, pembinaan, pendidikan, dan pengawasan menjadi kunci.
Pemerintah harus memastikan bahwa koperasi dijalankan secara profesional,
transparan, dan partisipatif. Digitalisasi juga harus diarahkan bukan hanya pada
efisiensi administratif, tetapi juga pada keterbukaan informasi agar anggota
dapat mengawasi jalannya koperasi secara real time.
Selain itu, koperasi perlu membangun jaringan antar-desa
yang kuat. Koperasi desa tidak boleh berdiri sendiri-sendiri; mereka harus
terhubung dalam struktur federatif yang memungkinkan skala ekonomi lebih besar.
Usulan pembentukan induk Koperasi Merah Putih di tingkat nasional merupakan
langkah strategis untuk mengintegrasikan unit-unit desa ke dalam rantai pasok
yang lebih luas. Dengan begitu, koperasi dapat menjadi pemain utama dalam
sektor pangan, energi terbarukan, dan perdagangan digital.
Kedaulatan ekonomi rakyat tidak berarti menutup diri dari
pasar global. Justru sebaliknya, koperasi dapat menjadi pintu bagi rakyat kecil
untuk masuk ke pasar dunia dengan posisi yang lebih kuat. Produk desa seperti
beras organik, garam, ikan, atau kerajinan dapat dipasarkan melalui koperasi
yang berfungsi sebagai agregator dan penjamin mutu. Dengan basis anggota yang
masif, koperasi memiliki daya tawar kolektif yang tak dimiliki pelaku usaha
individu.
Pada akhirnya, koperasi bukan sekadar lembaga ekonomi,
melainkan ekspresi budaya bangsa yang mengakar pada gotong royong. Ia adalah
jalan tengah antara kapitalisme yang sering melahirkan ketimpangan, dan
sosialisme negara yang cenderung mematikan inisiatif individu. Dalam koperasi,
kebebasan individu dan solidaritas sosial bertemu dalam keseimbangan.
Kedaulatan ekonomi rakyat bukanlah cita-cita utopis. Ia
dapat diwujudkan melalui konsistensi membangun koperasi yang sehat, modern, dan
berpihak pada rakyat kecil. Jika hal ini berhasil, maka koperasi benar-benar
akan menjadi sokoguru ekonomi nasional, sebagaimana yang diimpikan Bung Hatta.
Program Koperasi Merah Putih hanyalah langkah awal; ujian sebenarnya terletak
pada bagaimana rakyat, melalui koperasi, mampu berdiri tegak dan berdaulat di
tengah pusaran ekonomi global yang kian kompetitif. (*)

Posting Komentar