MBG di Persimpangan Jalan Indonesia Emas 2045

Sumber Foto: Universitas Gadjah Mada

Di persimpangan jalan menuju visi Indonesia Emas 2045, sebuah paradoks tragis tengah membayangi masa depan bangsa. Di satu sisi, narasi resmi merayakan keberhasilan penurunan angka stunting, sebuah pencapaian yang menandakan kemajuan dalam perbaikan gizi anak. Di sisi lain, program andalan untuk mencapai tujuan tersebut—Program Makan Bergizi Gratis (MBG)—justru menjadi sumber bencana: serangkaian insiden keracunan massal yang merenggut kesehatan ribuan anak. Krisis ini lebih dari sekadar kegagalan teknis; ia adalah manifestasi keretakan fundamental dalam sistem pangan, kebijakan publik, dan tatanan sosial-ekonomi Indonesia.

Akar masalah gizi di Indonesia sangat dalam dan bersifat multifaset. Stunting, yaitu kondisi gagal tumbuh akibat malnutrisi kronis, telah lama menjadi prioritas nasional (Mediani, 2020). Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, tetapi juga interaksi kompleks antara penyakit infeksi, sanitasi lingkungan yang buruk, dan status sosial-ekonomi (Beal et al., 2018). Buku Gizi Kesehatan Masyarakat (Gibney et al., 2009) menjelaskan bahwa malnutrisi melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat anak lebih rentan terhadap infeksi seperti diare. Sebaliknya, infeksi, terutama diare, mengganggu penyerapan nutrisi dari usus sehingga memperburuk malnutrisi. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus (Permatasari & Magdalena, 2022).

Program MBG, yang secara teoretis dirancang untuk memutus siklus tersebut dengan menyediakan asupan gizi, justru memperparahnya. Maraknya kasus keracunan massal menyuntikkan patogen langsung ke dalam sistem pencernaan anak, memicu diare dan penyakit bawaan makanan lainnya. Alih-alih menyehatkan, program ini secara iatrogenik—karena kelalaian implementasi—menciptakan kondisi yang memperburuk masalah yang ingin diatasi.

Kegagalan ini berakar pada ‘salah urus dapur,’ ketika prinsip-prinsip dasar keamanan pangan diabaikan. Penelitian di berbagai lokasi di Indonesia konsisten menunjukkan praktik higiene dan sanitasi yang buruk di kalangan penjamah makanan, seperti kegagalan mencuci tangan, kontaminasi silang antara bahan mentah dan matang, serta penggunaan peralatan yang tidak bersih (Yunus et al., 2015). Ketika praktik ini diadopsi dalam skala industri rumahan untuk program nasional, hasilnya adalah bencana kesehatan masyarakat yang dapat diprediksi.

Dari perspektif kebijakan publik, krisis MBG adalah studi kasus klasik kegagalan implementasi model top-down. Kebijakan ini dirancang di tingkat pusat dengan tujuan mulia dan target kuantitatif ambisius, tetapi gagal memperhitungkan kapasitas serta kompleksitas di tingkat akar rumput (Grindle, 1980). Peluncuran program secara masif tanpa memastikan kesiapan infrastruktur dasar—seperti dapur yang memenuhi standar higienis—adalah pertaruhan berbahaya. Fakta bahwa 85% dapur di salah satu kabupaten terdampak parah belum memiliki sertifikat laik higienis dan sanitasi menunjukkan adanya kesenjangan implementasi fatal (Ismail, 2025).

Masalah ini dapat dianalisis melalui Teori Principal-Agent. Pemerintah pusat (prinsipal) mendelegasikan tugas penyediaan makanan kepada ribuan penyedia lokal (agen). Namun, terjadi asimetri informasi dan konflik kepentingan. Tujuan prinsipal adalah gizi dan keamanan, sedangkan tujuan agen bisa berupa efisiensi biaya atau maksimalisasi keuntungan. Hal ini mendorong mereka memangkas biaya pada aspek kebersihan atau kualitas bahan baku. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat serta sanksi tegas, agen tidak memiliki insentif untuk patuh sehingga hasil akhirnya merugikan (Jensen & Meckling, 1976).

Para juru masak dan pengelola dapur juga dapat dilihat sebagai birokrat tingkat jalanan (street-level bureaucrats), istilah yang diperkenalkan oleh Lipsky (1980). Mereka adalah pelaksana kebijakan di garis depan yang memiliki diskresi signifikan. Di bawah tekanan waktu dan keterbatasan sumber daya, mereka mungkin mengambil jalan pintas yang mengabaikan prosedur keamanan pangan. Keputusan-keputusan kecil inilah yang secara kumulatif menciptakan risiko sistemik.

Analisis ekonomi politik melangkah lebih jauh dengan mempertanyakan “mengapa” sistem pengawasan begitu lemah dan “mengapa” program diluncurkan dengan tergesa-gesa. Jawabannya sering kali terletak pada interaksi kepentingan politik dan kekuatan ekonomi (Reich & Balarajan, 2012). Program skala besar seperti MBG melibatkan alokasi anggaran sangat besar dan jaringan logistik luas, menciptakan peluang ekonomi bagi banyak pihak. Dalam situasi demikian, tekanan untuk segera mengeksekusi program demi keuntungan politik atau ekonomi kerap mengesampingkan keharusan teknis seperti sertifikasi keamanan pangan.

Laporan Institute of Development Studies (IDS) dan FAO (2025) menyoroti bahwa dalam kebijakan pangan dan gizi, sering terjadi ketidakselarasan antara kepentingan aktor publik, swasta, dan masyarakat sipil. Di Indonesia, prioritas politik untuk menunjukkan penurunan angka stunting secara cepat mungkin menciptakan insentif fokus pada distribusi makanan secara kuantitatif, sembari mengabaikan aspek kualitatif dan keamanan yang lebih sulit diukur serta diawasi. Selain itu, pengalihan dana dari program gizi jangka panjang ke kebutuhan darurat pascabencana alam juga menunjukkan bagaimana prioritas dapat bergeser, melemahkan upaya berkelanjutan (IDS & FAO, 2025). Dengan demikian, krisis keracunan MBG bukan sekadar masalah teknis kebersihan, melainkan gejala dari sistem di mana keamanan publik dikalahkan oleh kalkulasi politik dan ekonomi jangka pendek.

Mengatasi krisis ini membutuhkan lebih dari sekadar perbaikan prosedur operasional. Diperlukan perombakan paradigma. Dari sisi tata kelola, harus ada penegakan regulasi keamanan pangan yang tanpa kompromi, dengan audit independen serta sanksi berat bagi pelanggar. Keamanan pangan harus menjadi prasyarat, bukan pilihan. Dari sisi pendekatan program, ketergantungan pada model top-down yang monolitik harus dikurangi. Sebaliknya, pemerintah perlu mengalihkan fokus dan sumber daya untuk memperkuat solusi berbasis komunitas yang telah terbukti berhasil, seperti program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Program KRPL memberdayakan rumah tangga untuk memproduksi pangan bergizi di pekarangan mereka sendiri, memperpendek rantai pasok, dan memberikan kontrol langsung kepada keluarga atas keamanan pangan (Purnaningsih & Lestari, 2021). Model ini tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih berkelanjutan dan membangun kemandirian pangan dari bawah ke atas.

Terakhir, dari sisi perubahan perilaku, investasi besar dalam edukasi publik mengenai gizi dan keamanan pangan di tingkat rumah tangga sangatlah krusial. Teori perubahan perilaku dalam kesehatan masyarakat, seperti Social Cognitive Theory (Bandura, 1986), menekankan pentingnya pengetahuan, keterampilan, dan dukungan sosial dalam membentuk kebiasaan baru.

Ala kulli hal, tragedi keracunan massal dari program MBG adalah sebuah alarm yang memekakkan telinga. Ia mengingatkan kita bahwa dalam upaya mengejar target statistik, esensi pembangunan sejati tidak boleh hilang: kesejahteraan dan keselamatan manusia. Masa depan Generasi Emas Indonesia tidak dapat dibangun di atas fondasi rapuh dan beracun. Ia harus dipupuk melalui sistem pangan yang tidak hanya memberi makan, tetapi juga melindungi; sistem yang lahir dari kebijakan bijaksana, implementasi cermat, serta komitmen tulus untuk menempatkan anak-anak Indonesia di atas segala kepentingan lain. (*)

 

 

 

0/Post a Comment/Comments