Membaca itu Melawan!

Mustafa Saeed/unplsah

Sebagai pembaca, cara kita mendatangi sebuah buku akan sangat menentukan kekuatan buku itu atas diri kita. Ada yang datang sekadar untuk membaca, mendapatkan informasi dan pengetahuan, membaca laksana gelas kosong, siap diisi dan didikte, tapi ada pula yang membaca buku sebagai lawan dialog yang setara. 

Wacana tentang ‘buku berbahaya’ sesungguhnya bukanlah perdebatan tentang teks, melainkan tentang asumsi kita terhadap kapasitas intelektual pembaca. Untuk memahaminya, kita bisa perlu memetakan pembaca ke dalam beberapa spektrum, dari yang paling pasif hingga yang paling aktif dalam mengonstruksi makna dari apa yang ia baca.

Pertama, kita menemukan spektrum pembaca literalis. Tipe ini adalah perwujudan dari konsep tabula rasa John Locke, yang memandang pikiran manusia saat lahir sebagai kertas kosong yang pasif menunggu torehan pengalaman. Pembaca Literalis mendekati teks dengan model bawah-atas (bottom-up), di mana makna dibangun secara linear dari pengenalan huruf, kata, hingga kalimat, dengan keyakinan bahwa makna tunggal yang objektif sepenuhnya tersimpan di dalam teks. Dalam kerangka pendidikan, ini adalah model murid dalam pendidikan gaya bank yang dikritik Paulo Freire; seorang penerima pasif yang tugasnya hanya menyerap dan menghafal “simpanan” pengetahuan dari otoritas (Freire, 1970).

Berangkat dari asumsi tentang keberadaan pembaca inilah seluruh logika sensor dan pelarangan buku dibangun. Penguasa yang melarang buku beroperasi di bawah keyakinan bahwa warganya adalah Pembaca Literalis—wadah kosong yang akan langsung teracuni oleh ideologi berbahaya tanpa memiliki daya untuk menyaring atau menolak. Bahkan, bukan hanya penguasa atau negara, banyak juga elit agama yang mengategorikan buku sesat dan menyesatkan, sehingga melarang jama’ahnya untuk membaca buku-buku yang dikategorikan sesat dan menyesatkan (dhal wal mudhil) tersebut, karena dikhawatirkan menggoyahkan iman dan mengacaukan akidah.

Kedua, spektrum pembaca empatis. Tipe ini tidak sepenuhnya pasif; mereka terlibat secara mendalam dengan teks, tetapi pada level afektif atau emosional. Mereka adalah pembaca yang larut dalam cerita, merasakan ketegangan alur, dan menjalin ikatan emosional dengan karakter-karakternya. Pengalaman membaca mereka kaya secara perasaan, tapi belum tentu kritis secara analitis. Pembaca empatis mungkin akan menangis membaca kisah penindasan tanpa secara sadar mempertanyakan struktur sosial-politik yang melatarbelakangi kisah tersebut. Meskipun keterlibatan emosional ini adalah bagian penting dari kenikmatan membaca, tanpa diimbangi nalar kritis, pembaca empatis masih bisa menjadi sasaran narasi yang dirancang untuk memanipulasi sentimen, bukan untuk mencerahkan.  

Ketiga, adalah pembaca kritis, antitesis langsung dari pembaca literalis. Pembaca ini adalah seorang interogator aktif yang mendekati teks sebagai sebuah argumen yang perlu diuji. Mereka tidak hanya bertanya “apa yang dikatakan teks ini?” tetapi juga “mengapa ini dikatakan?”, “apa buktinya?”, dan “kepentingan siapa yang dilayani oleh narasi ini?”. Membaca kritis adalah sebuah proses evaluasi di mana pembaca secara sadar memutuskan untuk menerima atau menolak informasi yang disajikan penulis (Nurhadi, 1987).

Bagi pembaca ini, buku yang dianggap ‘berbahaya’ justru menjadi arena latihan intelektual yang berharga. Mereka memiliki sistem kekebalan ideologis yang membuat mereka kebal terhadap indoktrinasi, karena setiap gagasan yang masuk akan melewati filter analisis dan evaluasi yang ketat. Sebuah negara yang mempromosikan tipe pembaca ini adalah negara yang tidak takut pada pluralitas gagasan dan percaya pada kecerdasan warganya.  

Keempat, spektrumt pembaca transformatif. Tipe ini tidak hanya menganalisis teks, tetapi secara aktif ikut mencipta dan bahkan membongkar makna. Landasannya adalah teori resepsi sastra, yang menyatakan bahwa makna tidak inheren dalam teks, melainkan lahir dari transaksi antara teks dan kesadaran pembaca. Wolfgang Iser (1974) berpendapat bahwa teks memiliki ruang kosong (gaps) yang sengaja ditinggalkan penulis untuk diisi oleh imajinasi dan interpretasi pembaca. Hans Robert Jauss menambahkan konsep horizon harapan (horizon of expectation), di mana latar belakang dan pengalaman pembaca secara aktif membentuk pemaknaan.

Pembaca transformatif membawa ini ke tingkat paling radikal melalui dekonstruksi Jacques Derrida. Mereka membongkar oposisi biner dan hierarki tersembunyi dalam teks, menunjukkan bahwa makna itu sendiri tidak pernah stabil dan selalu terbuka untuk permainan bebas (free play) yang tak terbatas (Derrida, 1976). Bagi pembaca ini, tidak ada buku yang bisa menjadi sesat secara absolut, karena konsep kebenaran tunggal yang bisa disesatkan itu sendiri telah dibongkar.  

Simpulnya, ketakutan terhadap buku berbahaya adalah cerminan dari cara penguasa memandang rakyatnya. Jika rakyat dianggap sebagai pembaca literalis yang pasif, maka buku adalah ancaman dan sensor adalah perlindungan. Namun, jika rakyat dipandang sebagai pembaca kritis dan transformatif yang berdaulat atas pikirannya sendiri, maka buku adalah kesempatan untuk berdialog, dan pelarangan buku adalah sebuah pembodohan dan penghinaan intelektual.

Oleh karena itu, perjuangan melawan sensor bukanlah sekadar perjuangan untuk kebebasan berekspresi, melainkan perjuangan untuk meninggikan martabat manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir merdeka. (*)

0/Post a Comment/Comments