![]() |
| Pramoedya Ananta Toer (AI/Gemini) |
Hidup dan karya Pramoedya Ananta Toer bagaikan sebuah sungai
yang mengalir deras, membelah lanskap sejarah dan meninggalkan jejak yang tak
terhapuskan. Namun, narasi yang selama ini terlalu sering diulang—hanya
berfokus pada penderitaan, penahanan, dan kezaliman yang ia hadapi—sesungguhnya
hanya menangkap separuh dari kisahnya. Untuk menemukan relevansi Pramoedya bagi
para aktivis dan masyarakat masa kini, kita harus memutar balik lensa dan
melihatnya bukan hanya sebagai korban, melainkan sebagai seorang visioner. Ia
adalah sosok yang menggunakan pena bukan sekadar untuk mencatat, melainkan
untuk mengubah.
Sosok Pramoedya kerap kali disederhanakan sebagai
representasi perlawanan terhadap rezim Orde Baru, tetapi esensinya jauh lebih
mendalam dari itu. Ia adalah pencerita ulung yang memiliki keahlian unik untuk
mengubah fakta sejarah menjadi fiksi yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan
universal. Pramoedya menolak gagasan "seni untuk seni," sebuah
keyakinan yang menganggap sastra harus statis dan terisolasi dari pergulatan
sosial. Sebaliknya, ia memposisikan sastra sebagai 'sastra kontekstual' yang
memiliki tugas sosial dan harus berpihak pada kebenaran, keadilan, serta
kemanusiaan. Dengan tulisannya, ia berupaya membangkitkan kesadaran dan membuka
mata pembacanya terhadap realitas sosial yang sering kali tersembunyi.
Inilah inti dari visi Pramoedya yang dapat menjadi inspirasi
abadi. Ia tidak hanya menyoroti ketidakadilan di tingkat makro—seperti
penindasan kolonialisme dan korupsi—tetapi juga mengungkap kegetiran di tingkat
mikro yang bersifat personal, seperti tema anti-feodalisme dan perjuangan kelas
dalam novelnya Gadis Pantai. Ia berhasil mendemonstrasikan bahwa
perjuangan besar melawan ketidakadilan dapat dimulai dari narasi yang paling
intim, dari pergulatan batin seorang individu, sebagaimana yang ia lakukan
dalam Bukan Pasar Malam yang melankolis.
Namun, mungkin pelajaran terpenting yang diwariskan
Pramoedya adalah perannya sebagai pilar keberanian intelektual. Pengalaman
pahitnya di penjara, terutama di Pulau Buru, tidak lantas memadamkan
semangatnya. Justru, masa itu menjadi "laboratorium kreativitas" yang
monumental baginya. Di sanalah, tanpa fasilitas menulis, ia justru melahirkan
mahakarya seperti Tetralogi Buru, yang awalnya diceritakan secara lisan
kepada sesama tahanan. Peristiwa ini mengajarkan bahwa gagasan dan narasi tidak
bisa dipenjara atau dibakar oleh kekuasaan. Pelarangan buku-bukunya oleh rezim
Orde Baru yang menganggap ide lebih berbahaya dari bom, justru membuat karyanya
menjadi "buah terlarang" yang dicari dan diapresiasi secara
internasional.
Lebih dari itu, Pramoedya juga mengajarkan kita tentang
kekuatan bahasa. Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan Jawa yang kental
dengan feodalisme, ia secara sadar melepaskan awalan "Mas" dari
namanya untuk menolak hierarki sosial. Ia kemudian secara konsisten menjunjung
tinggi penggunaan Bahasa Indonesia dalam tulisannya, sebuah "bahasa tanpa
kelas" yang mampu menembus sekat-sekat strata sosial. Melalui langkah ini,
ia tidak hanya menulis cerita, tetapi juga mempromosikan kesetaraan dan
persatuan bangsa. Bahasa, baginya, adalah alat untuk mengobarkan revolusi dan
menyatukan semua orang dalam satu narasi perjuangan.
Oleh karena itu, warisan Pramoedya jauh melampaui biografi seorang sastrawan yang tertindas. Ia mewariskan sebuah cetak biru untuk aktivisme modern, sebuah manifesto bahwa narasi adalah senjata, dan bahwa kebenaran dan keadilan tidak dapat dibungkam selama ada jiwa yang berani menyuarakan. Ia adalah pengingat bahwa di tengah keterbatasan, kreativitas dapat berkembang; bahwa dari sudut pandang rakyat dan kaum jelata, kita dapat menemukan sejarah yang sesungguhnya. Ia mengajarkan kita bahwa setiap tulisan, betapapun sederhananya, mewakili pribadi individu dan bahkan bangsa itu sendiri. Pramoedya adalah bukti nyata bahwa seorang penulis dapat menjadi pilar intelektual bangsa, dan bahwa penanya adalah perlawanan yang abadi. (*)

Posting Komentar