![]() |
Ilustrasi (Sumber: Unsplash) |
Buku seharusnya menjadi instrumen pencerahan, pemantik nalar
kritis, dan medium untuk memajukan peradaban. Namun, realitas yang terjadi di
Indonesia belakangan ini justru menghadirkan sebuah ironi yang mendalam dan
tontonan yang mencederai akal sehat. Buku-buku, yang merupakan produk
intelektual dan wadah gagasan, berulang kali disita oleh aparat penegak hukum
dan diperlakukan layaknya alat kejahatan fisik.
Hingga September 2025, tercatat sejumlah kasus di mana
aparat kepolisian menyita buku-buku dari orang yang dituduh terlibat kerusuhan.
Pada demonstrasi 29–31 Agustus 2025 di Kota Bandung, misalnya, polisi
mengamankan puluhan buku dari para tersangka dengan alasan buku-buku itu
“memantik ideologi anti-kemapanan.” Daftar barang bukti yang dipublikasikan
meliputi judul seperti Crowd Control and Riot Manual, Deleuze:
Nihilisme Aktif dan Pemberontak, Why I Am Anarchist, serta karya
sastra kritis Pramoedya Ananta Toer. Pola serupa muncul di Jawa Timur pasca
demo di Surabaya–Sidoarjo, ketika aparat mengamankan buku-buku karya Karl Marx,
Emma Goldman, Jules Archer, hingga Franz Magnis-Suseno.
Penyitaan buku oleh aparat kepolisian bukanlah kejadian baru,
melainkan sebuah pola yang terus berulang dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar
tahun 2019 aparat gabungan TNI–Polri–Kejaksaan secara sepihak menyita ratusan
buku di beberapa kota karena dicurigai memuat ajaran komunisme. Di Padang
(Sumbar) dan Kediri (Jatim) misalnya, penyitaan dilakukan tanpa proses
pengadilan dengan menggunakan dasar hukum usang TAP MPRS No. XXV Tahun 1966,
produk hukum yang lahir di rezim otoriter.
Bahkan di luar isu politik, buku juga pernah diperlakukan
sebagai barang bukti pidana. Ketika musisi Anji terjerat kasus ganja, polisi
sempat menyita Hikayat Pohon Ganja sebagai bagian dari barang bukti. Fakta
ini menunjukkan penyitaan buku tidak hanya terkait isu ideologi “berbahaya,”
tetapi juga bisa muncul dalam kasus pidana lain walau isi buku tidak relevan
secara hukum. Berbagai laporan investigatif juga mencatat cakupan buku yang
disita sangat luas, dari buku teori politik dan panduan aksi massa hingga karya
sastra kritis. Seperti karya Tan Malaka (Massa Aksi) dan Eka Kurniawan (Corat-Coret
di Toilet) pernah masuk daftar barang bukti. Pola yang tampak acak ini
menegaskan tidak adanya korelasi substansial antara isi buku dengan tindak
pidana yang disangkakan.
Tindakan penyitaan buku sebagai barang bukti dalam kasus
pidana, terutama yang dituduhkan terkait dengan ideologi, adalah isu yang
secara hukum sangat problematis. Masalah utamanya terletak pada ketidaksesuaian
antara definisi barang bukti menurut hukum acara pidana dan interpretasi yang
sewenang-wenang oleh aparat. KUHAP mendefinisikan penyitaan sebagai tindakan
mengambil benda untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan
peradilan (Pasal 1 ayat 16). Pasal 39 menegaskan benda yang dapat disita
hanyalah yang diperoleh dari tindak pidana, digunakan langsung dalam tindak
pidana, dibuat khusus untuk melakukan tindak pidana, atau memiliki hubungan
langsung dengan tindak pidana. Buku sebagai karya tulis murni tidak memenuhi
kualifikasi tersebut.
Menjadikan teks atau ideologi yang terkandung di dalamnya
sebagai dasar penyitaan adalah bentuk kriminalisasi pemikiran. Klaim bahwa buku
"memantik ideologi" yang kemudian mengarah pada tindak pidana adalah
sebuah upaya untuk membangun hubungan kausal yang tidak diakomodasi dalam hukum
positif Indonesia. Putusan MK No. 20/PUU-VIII/2010 bahkan menekankan bahwa
penyitaan hanya sah jika melalui izin pengadilan, sehingga praktik yang
dilakukan aparat tanpa mekanisme yudisial dapat dianggap bertentangan dengan
prinsip due process of law.
Para ahli hukum memandang penyitaan buku ini sebagai bentuk
"investigasi dengan niat buruk" atau malicious investigation.
Aparat tampaknya tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk menuntut pelaku
berdasarkan tindak pidana fisik, sehingga mereka berusaha mencari-cari landasan
lain dengan mengkriminalisasi pemikiran yang termuat dalam buku, sebuah upaya
untuk membungkam dan mengkriminalisasi masyarakat yang kritis terhadap
kekuasaan.
Lebih jauh, tindakan ini juga melanggar hak konstitusional.
Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat, sedangkan Pasal 28F menjamin
hak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi. Dengan menyita buku tanpa
pembuktian hukum, aparat pada dasarnya membatasi hak-hak dasar warga. Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen menilai praktik ini
sebagai bentuk penyimpangan negara hukum, tindakan sewenang-wenang sekaligus
pengabaian terhadap kebebasan akademik, yang menghambat masyarakat untuk
memperoleh ilmu pengetahun.
Fenomena penyitaan buku hari ini sesungguhnya merupakan gema
dari pola historis panjang. Sejak masa kolonial hingga Orde Baru, buku kerap
dijadikan objek represi. Kejaksaan Agung Orde Lama dan Orde Baru memiliki
wewenang melarang ratusan judul atas nama “ketertiban umum” atau “bahaya
ideologi.” TAP MPRS XXV/1966 dan UU PNPS No. 4/1963 melegitimasi sensor
sistematik atas karya tulis. Bahkan lembaga clearing house sempat
dibentuk untuk menyaring setiap cetakan baru sebelum beredar. Apa yang kini
disebut aparat sebagai “ideologi anti-kemapanan” sejatinya hanyalah reproduksi
wacana lama antikomunisme dan subversif yang diwariskan rezim otoriter.
Dampak dari pola berulang ini tidak sederhana. Akademisi,
penulis, dan pembaca menghadapi efek jera yang mengikis ruang kebebasan
berpikir. Literatur kritis yang seharusnya mendorong demokrasi deliberatif
justru dicurigai sebagai sumber kriminalitas. Habermas (1996) menekankan bahwa
ruang publik hanya bisa tumbuh sehat bila kritik dibiarkan berkembang tanpa
represi. Menghadapi ide dengan larangan hanya memperlihatkan ketakutan negara
terhadap wacana alternatif, bukan keberanian untuk berdebat di ranah publik.
Untuk mencegah regresi demokrasi, sejumlah langkah perlu
segera ditempuh. Pertama, penegakan KUHAP secara konsisten agar
penyitaan tidak lagi dilakukan atas dasar ideologis. Kedua, pengawasan
yudisial yang ketat, dengan Mahkamah Konstitusi dan pengadilan memastikan
setiap penyitaan diuji secara terbuka. Ketiga, peninjauan kembali
regulasi lama yang represif seperti TAP MPRS No. XXV/1966 agar tidak
terus-menerus menjadi alasan pembungkaman. Keempat, penguatan literasi
publik dan dialog terbuka guna menumbuhkan keberanian menghadapi perbedaan ide,
alih-alih menghapusnya.
Bangsa yang percaya pada dirinya tidak akan takut pada buku.
Seperti kata novelis Ellen Hopkins, gagasan tidak bisa dibakar (ideas are
incombustible). Yang justru terbakar adalah rasa percaya diri rezim yang
tidak sanggup menampung pluralitas pikiran. Menyita buku sebagai barang bukti
hanya akan menyingkap rapuhnya komitmen negara pada demokrasi, hukum, dan
kebebasan warganya. (*)
Posting Komentar