![]() |
Ilustrasi AI/Gemini |
Keserakahan, alih-alih menjadi jalan menuju kebahagiaan
sejati, justru menjebak individu dalam siklus ketidakpuasan yang tak
berkesudahan dan kemiskinan batin yang tersembunyi. Dari luar, orang yang
serakah mungkin tampak selalu bahagia, dikelilingi oleh harta benda dan
pengakuan, tapi pada dasarnya, mereka terperangkap dalam sebuah roda kemewahan
hedonis yang tak pernah berhenti. Secara psikologis, kegembiraan yang didapat
dari kepemilikan baru, seperti mobil mewah atau gadget terbaru, dengan
cepat memudar seiring waktu, sebuah fenomena yang dijelaskan oleh para psikolog
sebagai roda kemewahan hedonis atau adaptasi hedonis (Brickman &
Campbell, 1971). Kenikmatan sesaat dari sebuah pencapaian dengan cepat kembali
ke tingkat kebahagiaan dasar, menciptakan kekosongan yang hanya bisa diisi oleh
pengejaran berikutnya, sebuah dorongan tanpa akhir untuk mendapatkan lebih.
Secara neurologis, dorongan tak terpuaskan ini didorong oleh
neurotransmitter dopamin, yang berperan sentral dalam sistem imbalan
otak. Dopamin memotivasi kita untuk mencari dan mengejar imbalan—makanan,
kekayaan, atau status—namun ia tidak secara langsung menciptakan kebahagiaan
atau kepuasan. Akibatnya, individu yang serakah terperangkap dalam siklus
biologis yang mirip dengan kecanduan: otak mereka terlatih untuk terus mencari
lonjakan dopamin dari kepemilikan baru, sementara kepuasan yang didapat dari
kepemilikan itu sendiri cepat beradaptasi.
Kondisi ini menjelaskan mengapa orang yang serakah tidak
pernah merasa cukup; mereka tidak lagi menikmati apa yang mereka miliki, tetapi
terperangkap dalam dorongan biologis tanpa henti untuk mengejar apa yang belum
mereka dapatkan. Inilah wujud kemiskinan batin yang paling nyata: kehilangan
kemampuan untuk menikmati momen saat ini.
Manifestasi paling jelas dari paradoks ini terlihat dalam
fenomena pamer atau flexing di media sosial. Tindakan memamerkan
kekayaan dan pencapaian ini, meski tampak sebagai ekspresi kepercayaan diri,
seringkali berakar pada perasaan tidak aman atau harga diri yang rendah. Pamer
adalah upaya untuk mencari validasi sosial dan pengakuan dari orang lain,
sebuah kebutuhan psikologis untuk merasa diterima dan dihargai. Namun, validasi
yang diperoleh melalui likes dan komentar bersifat sementara dan tidak
pernah mampu mengatasi rasa tidak aman yang mendasarinya.
Semakin banyak validasi yang dicari, semakin besar
ketergantungan individu pada sumber eksternal untuk harga diri mereka, yang
secara paradoks, justru membuat mereka semakin rapuh. Sebuah studi menemukan
bahwa perilaku narsistik, yang sering terwujud dalam pamer kekayaan, dapat
berakar pada harga diri yang rendah. Pengejaran validasi eksternal menciptakan
siklus tak berujung di mana individu harus terus-menerus pamer untuk
mempertahankan perasaan berharga yang semu.
Kritik terhadap fenomena ini tidak hanya datang dari
psikologi, tetapi juga dari filsafat dan sosiologi. Filsuf Herbert Marcuse,
dalam kritiknya terhadap masyarakat industri-kapitalis, berpendapat bahwa
sistem modern telah memanipulasi kebutuhan palsu untuk mendorong konsumsi tanpa
batas demi keuntungan maksimal. Ia menyebut fenomena ini sebagai perbudakan
sukarela (voluntary enslavement), di mana individu tidak menyadari bahwa
mereka telah dimanipulasi oleh iklan dan propaganda untuk terus mengonsumsi.
Dalam pandangan Marcuse, masyarakat telah kehilangan dimensi kritis dan
rasionalitas individu, di mana identitas diri tidak lagi didasarkan pada
nilai-nilai batin, melainkan pada produk konsumsi yang mereka miliki. Oleh
karena itu, orang serakah pada dasarnya adalah budak dari sistem yang
mengendalikan mereka.
Keserakahan juga harus dibedakan dari kepentingan diri yang
etis, sebuah konsep yang diutarakan oleh bapak ekonomi modern, Adam Smith.
Smith berargumen dalam The Wealth of Nations bahwa kepentingan diri yang
sehat, yang diatur oleh kompetisi, dapat menghasilkan manfaat sosial melalui tangan
tak terlihat (invisible hand). Seorang tukang roti bekerja untuk
memenuhi kepentingan dirinya sendiri, namun dalam prosesnya, ia menghasilkan
roti berkualitas yang berguna bagi masyarakat. Berbeda dengan ini, keserakahan
didefinisikan sebagai kepentingan diri yang tidak terkendali (unfettered
self-interest) yang melanggar prinsip-prinsip etika dasar demi keuntungan
pribadi. Perilaku ini, alih-alih meningkatkan efisiensi, justru merugikan
kelompok yang lebih besar dan memperburuk ketidaksetaraan.
Pandangan filosofis dan spiritual dari berbagai tradisi
secara konsisten menawarkan solusi untuk memutus siklus ini. Aristoteles
mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak ditemukan dalam
akumulasi harta, melainkan dalam kebajikan yang dicapai melalui akal budi dan jalan
tengah. Keserakahan adalah cacat moral ekstrem, penyimpangan dari keseimbangan
yang sehat. Filsafat Stoikisme, yang diwakili oleh Seneca, berpendapat bahwa
kekayaan sejati adalah ketenangan batin, bukan harta benda, karena keterikatan
pada materi justru menjadikan harta itu memiliki kita.
Ajaran Buddha, melalui Empat Kebenaran Mulia, secara
eksplisit menyatakan bahwa dukkha (penderitaan) disebabkan oleh tanha
(hasrat atau craving) yang tak terpuaskan untuk kepemilikan material.
Jalan untuk mengakhiri penderitaan adalah dengan melepaskan diri dari hasrat
ini. Begitu pula dalam Islam, konsep qana'ah (merasa cukup) ditawarkan
sebagai kunci kekayaan hati dan ketenangan batin. Seperti sabda Nabi Muhammad
SAW, "Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kaya
hati" (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari berbagai perspektif ini, jelas bahwa keserakahan adalah
sebuah ilusi. Ia menjanjikan kebahagiaan, tetapi pada kenyataannya, ia adalah
jalan menuju kehampaan dan kerapuhan batin. Kunci untuk memutus siklus ini
bukanlah dengan mengejar lebih banyak lagi, melainkan dengan mengalihkan fokus
dari akumulasi eksternal ke pengembangan batin. Kekayaan sejati terletak pada
kemampuan untuk merasa cukup, pada penerimaan diri, dan pada nilai-nilai yang
jauh melampaui kepemilikan materi. Ini adalah paradoks yang harus disadari:
bahwa dalam mengejar segalanya, orang serakah pada akhirnya tidak memiliki
apa-apa, kecuali kehampaan.(*)
Posting Komentar