Kematian Affan Kurniawan di bawah roda kendaraan taktis
Brimob bukanlah sekadar tragedi; ia adalah vonis. Vonis yang dijatuhkan oleh
sejarah terhadap sebuah institusi yang telah lama kehilangan kepercayaan
publik. Dalam riak kemarahan yang menyusul, satu seruan menggema paling keras
dan melampaui tuntutan hukum terhadap pelaku di lapangan: "Copot
Kapolri". Tuntutan ini, pada intinya, bukanlah serangan personal terhadap
Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia adalah sebuah keniscayaan politik dan sosial—sebuah
langkah yang tak terhindarkan—yang lahir dari akumulasi kegagalan, impunitas
yang mengakar, dan retaknya kontrak sosial antara negara dan warganya.
Pergantian pucuk pimpinan Polri kini bukan lagi soal apakah itu perlu,
melainkan kapan ia akan terjadi sebagai prasyarat mutlak untuk memulai jalan
panjang pemulihan.
Argumen bahwa pergantian Kapolri adalah sebuah keniscayaan
berdiri di atas tiga pilar yang kokoh: runtuhnya kepercayaan publik secara
sistemik, aktivasi doktrin tanggung jawab komando sebagai tuntutan moral, dan
kegagalan respons negara untuk melampaui manuver pengendalian krisis.
Pertama, insiden Affan Kurniawan adalah puncak dari gunung
es krisis kepercayaan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun. Publik tidak
melihat kematian Affan sebagai sebuah insiden yang terisolasi. Sebaliknya,
mereka melihatnya sebagai konfirmasi paling brutal dari pola kekerasan yang
telah mereka saksikan berulang kali: mulai dari kontroversi penembakan enam
laskar FPI di KM50, Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 jiwa, hingga skandal
Ferdy Sambo yang membongkar borok "negara di dalam negara" di tubuh
Polri.
Setiap peristiwa ini mengikis legitimasi Polri sedikit demi
sedikit, yang tercermin dalam data survei yang menunjukkan anjloknya
kepercayaan publik hingga di bawah 50%. Kematian Affan, yang terekam jelas dan
korbannya adalah "rakyat kecil" yang sedang mencari nafkah, menjadi
bukti visual yang tak terbantahkan bahwa slogan reformasi "Presisi"
telah gagal total di jalanan. Pada titik ini, masalahnya bukan lagi
"oknum", melainkan sistem. Dan dalam krisis sistemik, pemimpin tertinggi
menjadi simbol dari kegagalan tersebut.
Kedua, kemarahan publik kini memiliki landasan yuridis dan
moral yang kuat melalui doktrin tanggung jawab komando (command
responsibility). Kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil tidak lagi hanya
berteriak marah, tetapi secara sadar menuntut pertanggungjawaban dari level
tertinggi. Mereka berargumen bahwa Kapolri, sebagai komandan tertinggi, secara
moral dan hukum bertanggung jawab atas kegagalan sistemik yang memungkinkan
brutalitas terjadi.
Prinsip ini, yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menegaskan bahwa
seorang atasan sipil (termasuk polisi) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
atas pelanggaran berat yang dilakukan bawahannya. Dengan demikian, desakan
"Copot Kapolri" telah bertransformasi dari sekadar luapan emosi
menjadi sebuah tuntutan akuntabilitas yang berdasar, menempatkan Kapolri dalam
posisi yang secara etis dan politis tidak dapat dipertahankan.
Ketiga, respons yang diberikan oleh negara terbukti tidak
memadai untuk memadamkan api krisis. Permintaan maaf Kapolri, kunjungan ke
rumah duka, dan proses hukum yang cepat terhadap pelaku di level bawah memang
merupakan langkah-langkah standar manajemen krisis. Namun, publik yang telah
lelah dengan pola yang sama melihat ini bukan sebagai wujud keadilan sejati,
melainkan sebagai upaya "mengorbankan pion untuk menyelamatkan raja".
Kepercayaan telah terkikis sedemikian rupa sehingga tindakan-tindakan tersebut dianggap sebagai manuver public relations belaka. Ketika kepercayaan pada mekanisme internal telah sirna, satu-satunya jalan keluar yang dilihat publik adalah perubahan pada level puncak. Pergantian pimpinan menjadi satu-satunya sinyal yang dapat diterima sebagai bukti bahwa negara serius untuk berbenah, bukan sekadar menambal sulam citra.
Pada akhirnya, mempertahankan Kapolri di tengah krisis
legitimasi yang begitu parah justru akan menjadi beban politik bagi Presiden
dan pemerintah. Ini akan mengirimkan pesan bahwa negara lebih memprioritaskan
solidaritas korps daripada keadilan bagi warganya, sebuah posisi yang berbahaya
di tengah amarah publik yang meluas. Sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa pengunduran diri kepala polisi di bawah tekanan publik adalah mekanisme
akuntabilitas yang wajar dalam demokrasi ketika terjadi kegagalan institusional
berskala besar.
Oleh karena itu, pergantian Kapolri bukan lagi sebuah
pilihan strategis, melainkan sebuah keharusan yang tak terelakkan. Ini bukanlah
jaminan bahwa semua masalah akan selesai, tetapi ini adalah tiket masuk yang
harus dibayar negara untuk sekadar diizinkan memulai kembali dialog dengan
rakyatnya. Tanpa langkah simbolis yang fundamental ini, setiap janji reformasi
akan terdengar hampa, setiap proses hukum akan dicurigai, dan setiap upaya
pembenahan akan ditolak. Kematian Affan Kurniawan telah menarik garis di atas
pasir. Untuk melangkah maju, negara harus berani melintasi garis itu, dan
langkah pertama yang niscaya adalah pergantian kepemimpinan di tubuh Polri. (*)

Posting Komentar