Pernikahan, di mata yang skeptis, hanyalah sebuah kontrak
yang rentan pecah. Di mata yang romantis, ia adalah takdir abadi. Namun, bagi
para filsuf, pernikahan adalah sebuah medan pertempuran: sebuah panggung tempat
esensi manusia diuji, dipertanyakan, dan—jika berhasil—didefinisikan ulang. Ia
bukanlah akhir dari cerita cinta, melainkan sebuah prolog yang bergejolak,
penuh dengan ketegangan antara individu dan institusi, kebebasan dan komitmen,
serta idealisme dan realitas. Dengan menyisir ulang pemikiran-pemikiran besar,
kita dapat memahami bahwa hakikat terdalam pernikahan tidak terletak pada janji
yang diucapkan, melainkan pada perjuangan yang dijalani setiap hari.
Pada masa Yunani Kuno, kita menemukan pandangan yang
melampaui romansa. Socrates, dengan kecerdikan yang khas, menawarkan sebuah
proposisi yang menggetarkan: “Menikahlah. Kalau mendapatkan istri yang baik,
kamu akan bahagia. Kalau tidak, kamu akan menjadi bijak.” Kalimat ini, meski melahirkan
ragam tanggapan, bagi mereka yang mencari kesempurnaan dalam pernikahan, ini
adalah koreksi, karena ia menegaskan bahwa hasil sejati dari pernikahan adalah
transformasi internal. Apapun yang terjadi, individu akan selalu memperoleh
sesuatu yang berharga—baik itu kebahagiaan atau kebijaksanaan.
Bagi Plato pernikahan adalah alat untuk rekayasa sosial, di mana prokreasi dikendalikan demi melahirkan warga ideal bagi negara, Aristoteles menempatkan pernikahan sebagai fondasi moral. Ia adalah wadah tempat individu mempraktikkan kebajikan dan mencapai eudaimonia, atau “kebaikan sejati,” yang merupakan tujuan tertinggi dari kehidupan manusia. Pandangan ini memberikan makna yang substansial pada pernikahan, menjadikannya sebuah proyek pembangunan karakter yang esensial.
Dalam banyak ajaran agama, pernikahan dipandang sebagai sebuah perjanjian suci, sebuah fitrah atau kodrat ilahi, di mana manusia diciptakan berpasang-pasangan sebagai manifestasi keagungan Tuhan. Dalam perspektif ini, pernikahan bukan sekadar institusi sosial, melainkan sebuah jalan suci. Ia adalah ibadah yang menyempurnakan setengah dari agama seseorang, menjadikan setiap aspek hubungan, dari yang formal hingga yang sehari-hari, sebagai tindakan mendekatkan diri pada-Nya. Tujuan tertinggi dari ikatan ini bukanlah kebahagiaan hedonis, melainkan pencapaian sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta yang mendalam), dan rahmah (kasih sayang). Bahkan tantangan dan ujian di dalamnya dipandang sebagai cara Tuhan menunjukkan cinta-Nya, sebuah jalan untuk menempa kesabaran dan tawakal.
Namun, di era modern, badai rasionalisme mengubah segalanya.
Abad Pencerahan, dengan menempatkan individu sebagai pusat semesta, mengubah
pernikahan dari institusi sakral menjadi sebuah kontrak. Immanuel Kant, yang
tidak pernah menikah, mendefinisikannya sebagai "kepemilikan seumur hidup
atas atribut seksual satu sama lain".
Pandangan ini, meskipun terdengar dingin, adalah sebuah
upaya radikal untuk menyelesaikan masalah etis objektivikasi dalam hubungan
seksual. Hanya dengan saling "memiliki," kedua pihak dapat dihormati
sebagai subjek yang setara, bukan sebagai objek pemuas hasrat. Kritik ini, yang
disorot oleh John Locke sebagai kontrak yang dapat diakhiri setelah tujuan
prokreasi terpenuhi , menunjukkan kerentanan fundamental dari pernikahan
modern: ketika fondasinya adalah perasaan yang bisa berubah, komitmen yang
mutlak menjadi sebuah kebohongan yang manis.
Krisis ini mencapai puncaknya di abad ke-20 dengan
kemunculan eksistensialisme dan feminisme. Jean-Paul Sartre, dengan pesimisme
yang menusuk, menyatakan bahwa "Orang lain adalah neraka." Ia melihat
cinta sebagai upaya sia-sia untuk menguasai kesadaran orang lain, sebuah
"penipuan diri" yang membuat individu kehilangan kebebasan dan
keautentikannya.
Pandangan ini menemukan gema dalam kritik Simone de Beauvoir
yang melihat pernikahan sebagai institusi patriarkal yang mereduksi perempuan
menjadi "Yang Lain" (the Other), sebuah entitas yang
didefinisikan secara pasif dalam kaitannya dengan laki-laki. Ia berpendapat
bahwa pernikahan adalah institusi "berbahaya" yang melanggengkan
penindasan gender, dan mendorong perempuan untuk mencari otonomi di luar peran
tradisional. Kritik ini memaksa kita untuk melihat ketidaksetaraan yang
tersembunyi di balik janji-janji indah.
Namun, pesimisme ini tidaklah menjadi akhir. Martin Buber
menawarkan jalan keluar yang transformatif dengan filosofi relasi I-Thou
(Aku-Engkau). Ia berpendapat bahwa makna terdalam dari sebuah hubungan tidak
terletak pada individu yang terpisah, melainkan pada "ruang di
antara" mereka, sebuah ruang yang tercipta dari pengakuan sejati dan
kehadiran penuh terhadap pasangan sebagai subjek yang setara.
Ini adalah sebuah panggilan untuk melampaui objektivikasi
dan mencapai persatuan sejati yang melampaui kepemilikan. Sejalan dengan itu,
psikologi modern memaparkan bahwa komitmen yang kokoh dalam pernikahan bukanlah
sebuah kebetulan, melainkan hasil dari kerja keras yang sadar, yang
menggabungkan komitmen personal (cinta), moral (nilai), dan struktural (faktor
eksternal).
Simpulnya, pernikahan adalah sebuah proyek eksistensial. Ia
adalah pilihan sadar untuk menciptakan makna di tengah dunia yang tak pasti. Ia
bukanlah takdir yang telah ditentukan, melainkan sebuah kanvas kosong yang
harus dilukis oleh dua seniman yang tak sempurna. Ia menuntut kejujuran,
komunikasi yang tak kenal lelah, dan keberanian untuk menghadapi kerentanan
diri. Dengan demikian, pernikahan menjadi sebuah pertempuran yang layak
diperjuangkan: pertempuran untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijak,
dan lebih otentik, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang yang
kita cintai. (*)
Posting Komentar