Refleksi 59 Tahun Perjalanan Kohati


Perjalanan 59 tahun Korps HMI-Wati (Kohati) merupakan sebuah tonggak historis yang tak terpisahkan dari dinamika pergerakan mahasiswa, keislaman, dan kebangsaan di Indonesia. Angka 59 tidak hanya menandakan sebuah perayaan, tetapi juga sebuah periode kedewasaan dan kematangan yang menuntut adanya introspeksi mendalam atau muhasabah, sebagaimana ajaran Islam dalam Al-Qur'an Surah al-Hasyr ayat 18.

Refleksi ini menjadi kesempatan untuk mengevaluasi kinerja, mengidentifikasi capaian, dan mengakui kekurangan demi merumuskan langkah-langkah strategis di masa depan, serta mengupas tuntas perjalanan Kohati dari genealogi, transformasi peran, dinamika internal, hingga relevansinya di era kontemporer. Lebih dari itu, refleksi ini merumuskan proyeksi strategis yang visioner bagi Kohati dalam menghadapi tantangan ke depan dan menyongsong visi Indonesia Emas 2045.  

Sebelum resmi dibentuk sebagai entitas khusus, aspirasi dan kegiatan perempuan di dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ditampung dalam sebuah departemen keputrian. Keberadaan departemen ini, bagaimanapun, dianggap tidak memadai untuk menampung seluruh kreativitas dan potensi perempuan HMI. Keterbatasan tersebut dinilai mempersempit ruang perempuan untuk lebih berkreativitas dan tidak dapat mengurus isu-isu keperempuanan secara mendalam.

Fakta ini memicu kesadaran di kalangan HMI-Wati akan perlunya sebuah wadah yang lebih kuat dan mandiri. Pembentukan Kohati sebagai badan khusus yang memiliki status semi otonom dan kebijakan tersendiri merupakan respons langsung terhadap keterbatasan struktural tersebut. Kebutuhan akan otonomi ini juga mencerminkan pergeseran pemahaman yang lebih luas tentang peran perempuan, yang tidak lagi hanya ingin menjadi pelengkap dalam organisasi, melainkan sebagai entitas yang memiliki agenda dan gerakannya sendiri. Dengan demikian, kemandirian struktural dipandang sebagai prasyarat fundamental untuk mencapai efektivitas gerakan.  

Maka, pada tanggal 17 September 1966, bertepatan dengan Kongres HMI ke-8 di Surakarta Kohati dideklarasikan sebagai sebuah organisasi semi-otonom dari HMI. Pendirian ini merupakan puncak dari dorongan ganda: dari internal organisasi dan dari lingkungan eksternal. Secara internal, para inisiator seperti Maisyarah Hilal dan Siti Zainah, yang juga merupakan dua dari 15 pendiri HMI, melihat perlunya sebuah wadah pembinaan untuk anggota HMI-Wati. Secara eksternal, pendirian Kohati terjadi di masa transisi politik yang penuh gejolak, yaitu masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, yang ditandai dengan peningkatan kesadaran kaum perempuan untuk turut serta dalam kancah kebangsaan.

Pergolakan politik pasca-G30S menciptakan ruang dan dinamika baru bagi organisasi mahasiswa untuk mengambil peran lebih aktif. Kohati, sebagai bagian dari gelombang kebangkitan perempuan ini, secara cerdas menemukan jalurnya di dalam organisasi keagamaan-kemahasiswaan yang sudah mapan seperti HMI. Hal ini menunjukkan bahwa Kohati tidak hanya lahir dari kebutuhan internal, tetapi juga merupakan sebuah respons terhadap zeitgeist politik dan sosial yang sedang berlangsung, bahkan di tengah situasi yang penuh tantangan.

Dalam perjalanannya, Kohati telah bertransformasi dari sekadar wadah internal menjadi aktor yang berkontribusi nyata pada isu-isu sosial dan kebangsaan. Secara simbolis, Kohati sering disebut sebagai "tiang HMI, apabila Kohati baik, maka baik pula HMI". Secara struktural, Kohati adalah badan khusus HMI yang bersifat ex-officio dari pimpinan HMI dan memposisikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan (integral part) dari HMI. Tujuannya yang unik adalah membentuk "muslimah insan cita", menjadikan Kohati sebagai laboratorium hidup untuk mewujudkan HMI-Wati yang berkualitas.

Namun, kombinasi antara status integral dan semi-otonom ini juga rentan terhadap ketegangan struktural, yang menjadi penyebab mengapa isu ‘likuidasi’ Kohati sering muncul dalam forum-forum tertinggi HMI. Dilema abadi ini adalah bagaimana menjaga otonomi dan fokus gerakannya tanpa mengorbankan hubungan dengan organisasi induk.  

Meskipun demikian, Kohati telah membuktikan kontribusinya. Organisasi ini memposisikan dirinya sebagai agen literasi dengan fokus mencerdaskan masyarakat, khususnya perempuan, dalam memanfaatkan media. Di bidang ekonomi, Kohati terlibat dalam pembinaan kewirausahaan , dan bahkan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mendorong Kohati untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) perempuan yang unggul dan mampu bersaing. Kohati mampu merespons isu-isu krusial di masyarakat, seperti kekerasan seksual dan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). Kolaborasi dengan berbagai pihak di luar HMI, seperti Dinas Perpustakaan dan Kemenko PMK , serta partisipasi aktif dalam aksi-aksi demonstrasi, menegaskan kembali fungsi Kohati sebagai organisasi keperempuanan yang relevan di ruang publik.  

Namun, di tengah capaian yang signifikan, Kohati juga menghadapi tantangan internal yang serius. Salah satu masalah utama adalah penurunan kualitas kader dan stagnasi dalam perkaderan. Banyak kader HMI-Wati yang tidak terlibat aktif karena berbagai alasan, mulai dari kurangnya pemahaman tentang Kohati, keinginan untuk lebih fokus pada akademis, hingga kendala praktis. Kesenjangan ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara tujuan ideal Kohati dengan realitas mahasiswi modern saat ini. Selain itu, Kohati juga harus berjuang melawan tantangan struktural dan budaya, di mana budaya patriarki masih merambah dalam aktifitas HMI dan menciptakan lingkungan yang tidak selalu kondusif. Ini adalah perjuangan eksistensial bagi Kohati untuk mempertahankan ruangnya dan menentang struktur yang membatasi gerakannya.  

Di tengah tantangan ini, Kohati menemukan kembali identitasnya melalui pendekatan unik terhadap isu kesetaraan gender. Kohati tidak mengadopsi feminisme sekuler secara mentah-mentah, melainkan membangun konstruksi kesetaraan gender sebagai hak dan peran yang sama antara laki-laki dan perempuan di ruang publik dan domestik tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Pendekatan ini merupakan sebuah jembatan antara konservatisme dan modernitas, yang memungkinkan Kohati menjangkau kelompok perempuan muslim yang lebih luas.

Kohati memandang isu-isu sosial seperti ketidakadilan gender dapat diselesaikan melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) yang berakar pada nilai-nilai Islam. Ini menunjukkan bahwa isu gender tidak bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan merupakan bagian integral dari misi kemanusiaan. Respons ini diwujudkan dalam program kerja yang praktis, seperti diskusi kesehatan reproduksi, seminar kewanitaan, dan pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan.  

Dengan segala dinamikanya, Kohati kini telah menegaskan posisinya untuk menyongsong Indonesia Emas 2045, dengan mengusung tema "Kohati Bernilai,  Indonesia Maju" di usia ke-59. Kohati secara eksplisit mengaitkan tujuan internalnya—terbinanya Muslimah berkualitas insan cita—dengan agenda pembangunan nasional yang lebih besar. Kita menaruh harapan besar agar Kohati dapat terus memberikan kontribusi terbaiknya untuk kemajuan bangsa dan negara. Untuk memastikan relevansi dan progresivitas di masa depan, Kohati perlu melakukan revitalisasi perkaderan dengan merumuskan ulang kurikulum yang lebih menarik dan relevan, mengoptimalkan sinergi dengan HMI, FORHATI, dan organisasi keperempuanan lainnya, serta memanfaatkan teknologi dan digitalisasi untuk menyebarkan gagasan dan program kerjanya secara lebih luas dan menghadapi tantangan literasi media.  

Usia 59 tahun bagi Kohati adalah sebuah kisah perjuangan yang penuh dengan dinamika dan adaptasi. Dari sebuah departemen yang terbatas, Kohati telah bertransformasi menjadi sebuah badan khusus yang berperan ganda: sebagai pembina internal HMI-Wati dan sebagai organisasi keperempuanan yang aktif di ruang publik. Meskipun menghadapi tantangan internal seperti stagnasi perkaderan dan budaya patriarki, Kohati terus menunjukkan relevansinya melalui adaptasi program dan pendekatan yang unik terhadap isu-isu gender yang berakar pada nilai-nilai Islam.

Menjaga tiga pilar utama—iman, ilmu, dan amal —tetap menjadi landasan fundamental. Dengan merangkul tantangan sebagai peluang, Kohati diharapkan terus menjadi tiang negara yang melahirkan pemimpin perempuan tangguh dan inspiratif, sejalan dengan visi "Membina Masyarakat Islam Indonesia". Perjalanan 59 tahun ini bukan akhir, melainkan awal dari babak baru dalam perjuangan Kohati untuk meneguhkan peran perempuan muslimah insan cita di tengah pusaran peradaban. (*)

 









0/Post a Comment/Comments