Ada sebuah ruang sunyi dalam diri setiap manusia, di tengah
denyut kehidupan masyarakat; sebuah ruang yang dipenuhi oleh pengalaman,
perasaan, dan kebenaran yang terlalu rumit, terlalu sakit, atau terlalu sakral
untuk diungkapkan dalam percakapan sehari-hari. Di sanalah kegelisahan batin,
harapan tersembunyi, dan ketidakadilan yang membisu bersemayam. Anais Nin,
dalam The Diary of Anais Nin (1974), menyentuh esensi dari ruang ini
saat ia menulis, “Peran seorang penulis bukanlah untuk mengatakan apa yang kita
semua bisa katakan, tetapi apa yang tidak mampu kita katakan.” Pernyataan ini
bukan sekadar definisi puitis, melainkan sebuah manifesto filosofis yang
menempatkan penulis sebagai juru bicara bagi kebisuan kolektif, seorang agen
yang bertugas memperluas batas dunia kemanusiaan melalui kekuatan kata.
Pada dasarnya, kita semua hidup dalam kerangka bahasa yang
kita warisi. Filsuf Ludwig Wittgenstein (1922) pernah menegaskan dalam Tractatus
Logico-Philosophicus bahwa “batas-batas bahasaku berarti batas-batas
duniaku.” Bahasa yang kita gunakan setiap hari, dengan segala kepraktisannya,
seringkali gagal menangkap spektrum penuh dari realitas batiniah dan
kompleksitas sosial. Ia menyediakan label, tapi tak selalu mampu menyajikan
esensi. Ada wilayah-wilayah pengalaman—duka yang tak bernama, kebahagiaan yang
meluap, atau penindasan sistemik yang terselubung—yang berada di luar jangkauan
kosakata konvensional.
Di sinilah penulis memulai tugasnya. Dengan metafora,
alegori, dan narasi yang ditenun secara saksama, ia tidak sekadar merangkai
kata; ia menciptakan sebuah kapal untuk menyeberangi lautan sunyi itu,
memberikan bentuk pada yang tak berbentuk dan suara pada yang tak terkatakan.
Penulis adalah seorang kartografer jiwa, yang memetakan wilayah-wilayah asing
di dalam diri kita agar kita dapat mengenali dan memahaminya.
Dimensi ini menjadi semakin tajam ketika kita menyadari,
seperti yang diungkapkan oleh Roland Barthes (1977), bahwa bahasa tidak pernah
netral. Bahasa adalah medan pertarungan ideologi, sebuah struktur yang sarat
dengan nilai dan kekuasaan. Apa yang “bisa dikatakan” oleh semua orang
seringkali merupakan cerminan dari narasi dominan yang melanggengkan status
quo. Sebaliknya, apa yang “tidak mampu kita katakan” adalah suara-suara
perlawanan, pengalaman kaum marginal, dan kebenaran-kebenaran yang sengaja
dibungkam. Dengan demikian, penulis yang setia pada panggilannya bukanlah
penghibur, melainkan seorang arkeolog makna. Ia menggali di bawah permukaan
percakapan publik untuk menyingkap asumsi-asumsi tersembunyi dan ideologi tak
terlihat yang membentuk realitas kita.
Tindakan menuliskan yang tak terkatakan ini, meski
seringkali lahir dari kesendirian, pada hakikatnya adalah sebuah tindakan
dialogis yang mendalam. Mikhail Bakhtin (1981) mengingatkan kita bahwa setiap
tuturan adalah arena pertemuan berbagai suara. Ketika seorang penulis berhasil
mengartikulasikan sebuah trauma atau harapan personal yang selama ini membeku
dalam kebisuan, ia seringkali tanpa sadar menyentuh dan menyuarakan pengalaman
serupa yang dirasakan oleh ribuan, bahkan jutaan orang lain. Suara soliter
penulis berubah menjadi gema kolektif. Tulisan menjadi ruang di mana
bisikan-bisikan pribadi yang terisolasi menemukan satu sama lain dan menyadari
bahwa mereka tidak sendirian. Inilah kekuatan sastra yang paling magis:
kemampuannya mengubah penderitaan individual menjadi pemahaman universal.
Pada puncaknya, peran ini membawa implikasi sosial-politik
yang tak terhindarkan. Ketika apa yang tak terkatakan itu adalah ketidakadilan,
maka menuliskannya adalah sebuah tindakan pembebasan. Sejalan dengan gagasan
Paulo Freire (1970) dalam Pendidikan Kaum Tertindas, penulis yang
mengungkap realitas kaum tertindas berperan sebagai katalisator yang mengubah
kesadaran naif menjadi kesadaran kritis. Dengan memberikan bahasa pada
penderitaan dan penindasan, ia memberikan alat bagi mereka yang terbungkam
untuk memahami, menamai, dan pada akhirnya melawan kondisi mereka (Freire,
1970). Tulisan tidak lagi berhenti sebagai objek estetis di atas kertas, tetapi
menjelma menjadi praksis—sebuah tindakan nyata yang berpotensi mengubah
dunia.
Di Indonesia, kita mengenal Pramoedya Ananta Toer yang
memberi perspektif berbeda tentang sejarah Indonesia masa Orde Baru, menyingkap
sisi-sisi yang seringkali disembunyikan oleh narasi resmi. Di ranah lokal,
bagaimana kita melihat kerja-kerja untuk terus merawat dan menjaga “Lampung”
dilakukan oleh Udo Z. Karzi, Arman Az, Kian Amboro, dan berapa penulis lokal
lainnya melalui tulisan-tulisan mereka tentang Lampung, budaya, dan sejarahnya?
Para penulis ini adalah contoh nyata bagaimana peran seorang
penulis tidak hanya berlaku pada skala nasional atau global, tetapi juga di
tingkat komunitas. Mereka menjadi penjaga memori, pengkritik realitas, dan
pendorong dialog tentang identitas serta masa depan sebuah daerah. Melalui
karya-karya mereka, yang tak terkatakan tentang Lampung, baik berupa kearifan
lokal yang hampir punah maupun tantangan modernitas, dapat menemukan suaranya.
Ala kulli hal, kutipan Nin (1974) mengajak kita untuk
melihat penulis bukan sebagai perajin kata semata, melainkan sebagai penjaga
kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang yang berani memasuki ruang-ruang gelap
dan sunyi, baik di dalam diri maupun di tengah masyarakat, untuk kembali dengan
membawa cahaya pemahaman. Dengan terus-menerus mendorong batas-batas bahasa,
mereka pada hakikatnya sedang memperluas batas-batas dunia kita, memastikan
bahwa tidak ada satu pun pengalaman manusia yang dibiarkan hilang dalam kebisuan. (*)
Posting Komentar