![]() |
Ilustrasi AI/ChatGPT |
Kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek
daring, di bawah roda kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025 bukan
sekadar insiden; ia adalah percikan api yang menyulut kembali amarah publik
yang lama terpendam. Peristiwa ini menjadi titik kritis yang menelanjangi
sebuah transformasi mendalam dalam ekosistem aktivisme Indonesia.
Di satu sisi, ia memicu gelombang protes nasional yang
dahsyat, mengubah korban biasa menjadi simbol perlawanan kolektif terhadap
ketidakadilan ekonomi dan kebrutalan negara. Di sisi lain, ia juga menyingkap
sebuah krisis yang tak kalah fundamental: pergeseran dari gerakan mahasiswa
yang berakar pada tradisi intelektual yang kokoh menuju arena perlawanan
digital yang lincah, tapi dangkal. Tragedi Affan Kurniawan tidak hanya membakar
jalanan, tetapi juga menerangi persimpangan jalan krusial bagi masa depan
gerakan sosial di Indonesia.
Selama beberapa waktu, lanskap gerakan mahasiswa tampak
sunyi. Organisasi-organisasi kemahasiswaan (OKP) besar yang pernah menjadi
garda depan perubahan terasa pasif, pernyataan sikap mereka sering kali
tenggelam dalam abstraksi birokratis atau bahkan terkesan menjilat kekuasaan.
Kelemahan narasi ini bukanlah kegagalan komunikasi semata, melainkan gejala
pembusukan institusional dari dalam.
Perpecahan di tubuh aliansi seperti BEM Seluruh Indonesia
(BEM SI), yang dipicu bukan oleh perbedaan ideologi melainkan oleh perebutan
jabatan dan dugaan kooptasi oleh elite politik, telah menciptakan kekosongan
kepemimpinan yang akut. Kondisi ini sangat kontras dengan warisan gerakan
transformatif '66 dan '98. Gerakan-gerakan tersebut bukanlah ledakan kemarahan
spontan, melainkan kulminasi dari kerja intelektual berkelanjutan. Mereka lahir
dari ruang-ruang diskusi yang intens, sirkulasi literatur kritis, dan
pembentukan kesadaran politik kolektif yang mendalam, yang pada akhirnya
melahirkan program politik terartikulasi seperti Tritura. Runtuhnya tradisi
intelektual inilah yang membuat garda lama gagap merespons krisis, membiarkan
panggung perlawanan kosong.
Kekosongan ini dengan cepat diisi oleh para arsitek
perlawanan model baru yang basis otoritasnya bukan legitimasi organisasional,
melainkan kredibilitas intelektual dan penguasaan medium digital. Figur seperti
Salsa Erwina, seorang diaspora berprestasi yang berbasis di Denmark, menjadi
arketipe aktivis baru ini. Melalui platform seperti TikTok dan X, ia secara
sistematis membongkar isu kebijakan yang kompleks menjadi konten berbasis data
yang mudah dicerna dan argumentatif, menantang elite secara langsung dan
menggalang dukungan publik secara masif. Pergeseran dari mimbar ke linimasa ini
menandakan bahwa pertempuran politik tidak lagi hanya tentang siapa yang
menguasai jalanan, tetapi siapa yang mampu menguasai narasi di agora digital.
Namun, paradigma baru ini bukannya tanpa bahaya. Kecepatan
dan jangkauan media sosial adalah pedang bermata dua. Ia sangat efektif untuk
mobilisasi instan, tetapi juga rentan menumbuhkan budaya kedangkalan.
Di sinilah letak paradoks aktivisme digital. Alat yang
membuatnya begitu kuat—algoritma yang memprioritaskan konten emosional dan
sensasional—justru bisa menjadi penghalang bagi pengorganisasian strategis
jangka panjang. Filsafat pendidikan Paulo Freire menawarkan kerangka untuk
mendiagnosis patologi ini. Freire membedakan antara "verbalisme"
(refleksi tanpa tindakan) dan "aktivisme" (tindakan tanpa refleksi),
di mana keduanya bukanlah praksis sejati—sintesis dari refleksi dan
tindakan yang saling menginformasikan. Gerakan kontemporer berisiko terjebak
dalam "aktivisme" buta ini, di mana partisipasi lebih didorong oleh Fear
of Missing Out (FOMO) dan tekanan tren sosial ketimbang pemahaman ideologis
yang mendalam.
Fenomena slacktivism, di mana menekan tombol
"suka" atau berbagi unggahan menciptakan ilusi perubahan, berisiko
menggantikan aksi nyata yang substantif dan berisiko. Gerakan berisiko terjebak
dalam siklus kemarahan: sebuah tragedi terjadi, tagar menjadi tren, protes
meledak, lalu energi menghilang hingga krisis berikutnya datang, tanpa pernah
menghasilkan perubahan struktural yang fundamental.
Masa depan aktivisme yang efektif di Indonesia menuntut
lahirnya sebuah model hibrida yang mampu menyinergikan kekuatan dari kedua
dunia. Ia harus mampu menggabungkan kekuatan narasi dan kelincahan para aktivis
digital dengan memori institusional dan potensi keberlanjutan dari organisasi
tradisional yang telah direformasi. Tantangan terbesar bagi para aktor digital
adalah bergerak melampaui momen viral untuk membangun struktur yang tahan lama,
sementara organisasi lama harus melakukan reformasi internal radikal untuk
merebut kembali relevansi intelektualnya.
Jalan ke depan menuntut pergeseran dari protes reaktif
menuju advokasi proaktif berbasis data dan pembangunan wacana tandingan yang
koheren. Tujuannya tidak boleh hanya untuk mengumpulkan "massa
aksi"—kerumunan untuk bertindak—tetapi untuk memupuk "massa
kritis"—sebuah generasi aktivis yang kemarahannya diimbangi oleh kearifan
strategis. Kematian Affan Kurniawan telah mengubah peta perlawanan secara
permanen. Tapi, untuk mengubah momen kemarahan menjadi era perubahan yang ajeg
dan langgeng, gerakan mahasiswa harus kembali ke akarnya: menempuh "jalan
pikiran" sebagai satu-satunya fondasi yang kokoh sebelum melangkah ke
"jalanan".
Tabik.
Posting Komentar