Melihat Makro-politik dari Lensa Mikrokosmos


Di era ketika fiksi sering kali meniru realitas dengan presisi yang brutal, atau kala karya sastra seringkali dipandang sekadar hiburan, Ratih Kumala mengambil jalur yang sama sekali berbeda tapi tak kalah tajam. Alih-alih sekadar bercerita, ia menghadirkan cermin yang memantulkan wajah politik dan kehidupan sosial manusia dengan cara yang unik—melalui dunia serangga.

Melalui novel terbarunya, Koloni (2025), sejak halaman-halaman awal, ia telah mengundang kita untuk menundukkan kepala, mengamati dunia kecil di bawah kaki, dan menemukan cerminan dari intrik kekuasaan yang menggerogoti dunia manusia. Ini bukan sekadar fabel biasa, melainkan sebuah pisau bedah sastra yang diselubungi metafora, sebuah evolusi berani dari penulis yang sebelumnya dikenal melalui realisme historis Gadis Kretek.

Sebagai karya yang baru diterbitkan pada Agustus 2025, Koloni langsung mengukuhkan dirinya sebagai bacaan yang tidak bisa diabaikan. Novel setebal 243 halaman ini berlatar di dunia serangga bawah tanah yang "super sibuk dan penuh strata". Narasi utamanya berpusat pada pertempuran tak terelakkan antara dua ratu semut, Ratu Gegana dan Ratu Darojak, yang saling berebut kekuasaan untuk menjadi “alfa”. Konflik ini, yang digambarkan "mengguncang koloni hingga ke akar-akarnya," secara eksplisit disamakan dengan "intrik perebutan kekuasaan di dunia manusia".  

Kekuatan Koloni tidak hanya terletak pada analoginya, tetapi pada kedalaman kritik yang tersembunyi. Novel ini bukan hanya menyindir perebutan kekuasaan, melainkan juga menyoroti struktur sosial yang kaku dan kehidupan modern yang terkesan tanpa jiwa. Ratih Kumala secara khusus memilih semut karena strata sosial mereka yang sudah terbentuk sejak lahir—pekerja, ratu, atau jantan—sebuah konsep yang ia gunakan untuk merefleksikan bagaimana kelas dan posisi dalam masyarakat dapat menentukan jalan hidup seseorang. Perbedaan ini menciptakan kritik yang lebih fundamental: bahwa dorongan untuk berkuasa adalah kekuatan bawaan, ada bahkan dalam sistem yang paling terstruktur sekalipun.  

Sebagaimana pengakuan Ratih Kumala, bahwa inspirasi utama di balik novel ini datang dari George Orwell, terutama Animal Farm, ia secara terbuka mengakui kekagumannya pada karya tersebut. Namun, perbedaannya terletak pada cara keduanya membangun fabel. Orwell “memanusiakan” hewan ternak untuk mengkritik ideologi tertentu, sedangkan Ratih memilih mempertahankan watak alamiah semut. Strategi ini menjadikan kritik dalam Koloni lebih universal, bukan sekadar refleksi atas kegagalan ideologi, tetapi cerminan dari sifat kekuasaan itu sendiri.

Menariknya, Ratih mengungkapkan bahwa ia memutuskan untuk menggunakan fabel setelah menyadari draf awalnya yang menggunakan karakter manusia terasa terlalu sarat dengan "rasa kecewa dan amarahnya" terhadap kondisi negara. Pergeseran ke dunia semut menciptakan jarak yang diperlukan, mengubah amarah pribadi menjadi satire yang lebih universal dan efektif.  

Koloni juga menandai babak baru dalam evolusi kepenulisan Ratih Kumala. Jika Gadis Kretek adalah sebuah karya yang memadukan realisme historis dan magis dengan riset empat tahun tentang industri kretek, Koloni adalah eksperimen yang berani dengan genre fabel dan satire politik. Alih-alih mengupas memori dan sejarah yang intim, novel ini memproyeksikan masalah makro-politik kontemporer melalui lensa mikrokosmos semut. Pergeseran dari riset sejarah mendalam ke pengamatan biologi menunjukkan fleksibilitas dan kedewasaan Ratih sebagai penulis.  

Pada akhirnya, Koloni lebih dari sekadar sebuah buku. Ia hadir sebagai pernyataan berani, cermin yang memantulkan kondisi bangsa, dan tantangan bagi pembaca untuk berpikir ulang tentang makna kekuasaan. Dengan satire yang tajam, gaya naratif yang berani, dan lapisan makna yang kaya, Ratih Kumala meneguhkan dirinya sebagai salah satu suara penting sastra Indonesia kontemporer.

Bagi pembaca yang mencari bacaan bermakna—bukan hanya kisah fabel yang menghibur, tetapi juga renungan mendalam tentang intrik politik dan struktur sosial—Koloni adalah pilihan yang tepat. Ia menunjukkan bahwa sastra masih sanggup menjadi medium yang hidup, mengguncang kesadaran, dan memberi kita cermin untuk menatap wajah kita sendiri. (*)

 

0/Post a Comment/Comments