Paradoks Keimanan

 

Ilustrasi (Sumber: unsplash.com/Yumu)

Dalam sebuah riwayat sahih, Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi pernah berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakan kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya lagi kepada siapa pun selain engkau.” Rasulullah menjawab: “Qul amantu billah, tsummastaqim” — “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim no. 38). Pesan ini sederhana, tetapi mengandung muatan yang begitu luas. Beriman bukan sekadar pengakuan lisan, melainkan komitmen yang menuntut konsistensi dalam memegang ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Namun, di sinilah letak paradoks keimanan yang sering kita saksikan. Iman seakan berhenti di bibir dan ritual, tetapi gagal mewujud dalam perilaku nyata. Sering kali orang beriman sangat keras dalam hal-hal simbolik, tetapi longgar dalam hal-hal yang substansial.

Kita mudah menemukan seorang muslim yang lantang mengharamkan daging babi. Ia menghindarinya dengan penuh kehati-hatian. Namun, pada saat yang sama, ia bisa saja dengan santai mengonsumsi makanan yang berasal dari harta haram—uang korupsi, hasil manipulasi, atau bahkan hak orang lain yang dirampas. Ia begitu ketat menjaga mulut dari sepotong daging babi, tetapi tidak merasa bersalah ketika mulut yang sama mengunyah hasil kezaliman.

Tak suka atau bahkan jijik memakan bangkai, terlebih bangkai manusia. Namun, teramat enteng membicarakan kejelekan orang lai, menggunjing dan memfitnah, yang Allah samakan perilaku itu seperti memakan bangkai saudaranya.

Bukankah ini paradoks?

Di sisi lain, ada pula mereka yang berteriak lantang soal jihad, bahkan menjadikannya sebagai slogan perjuangan. Namun, mereka abai pada jihad yang paling mendasar: jihad ilmu. Rasulullah bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224). Dalam riwayat lain disebutkan: “Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi no. 2647, hasan). Bahkan Al-Qur’an menegaskan:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (tafaqquh fiddin) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah [9]: 122).

Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa jihad ilmu tidak kalah penting daripada jihad fisik. Ironisnya, tradisi membaca, menulis, dan belajar sering kali dianggap sekunder dibanding retorika jihad. Dan perintah membaca, adalah perintah pertama mendahului semua perintah di dalam Al-Qur’an.

Paradoks ini juga tampak dalam ritual ibadah. Kita diajarkan untuk salat dengan penuh khusyu’ dan tumakninah. Dalam hadis tentang orang yang salatnya keliru, Rasulullah menegaskan pentingnya thuma’ninah dalam setiap gerakan (HR. Bukhari-Muslim). Namun, setelah salat, sebagian orang justru kehilangan kesadaran sosial. Betapa sering kita menyaksikan orang yang baru saja menunaikan salat, lalu dengan ringan melintas di depan orang lain yang masih beribadah, tanpa merasa bersalah karena telah mengganggu kekhusyukan. Rasulullah bahkan bersabda: “Seandainya orang yang lewat di depan orang yang salat mengetahui dosanya, niscaya ia lebih baik berdiri selama 40 (tahun/hari/bulan, perawi ragu) daripada lewat di depannya.” (HR. Bukhari no. 510, Muslim no. 507).

Lebih jauh, dalam pergaulan sosial, tidak sedikit orang beriman yang justru menjadi sumber keributan: menyebar fitnah, menimbulkan permusuhan, atau merampas hak orang lain: mengganggu tumakninah dan kekhuyukan hidupan orang lain. Padahal, esensi salat itu sendiri adalah “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 45).

Paradoks keimanan lahir karena adanya jurang antara pengetahuan dan penghayatan, antara pengakuan dan pengamalan. Beriman semestinya menuntut keberanian untuk konsisten dalam seluruh aspek hidup, tidak hanya dalam urusan simbolik. Istiqamah berarti berdiri tegak, tidak goyah, dan tidak pilih-pilih dalam menjalankan perintah Allah. Jika beriman berarti mengakui Allah sebagai Tuhan, maka tidak ada ruang untuk kompromi terhadap perintah-Nya, baik yang berkaitan dengan ritual maupun sosial.

Kesadaran inilah yang harus terus ditumbuhkan. Keimanan tidak boleh berhenti pada slogan dan ritual, tetapi harus diterjemahkan ke dalam perilaku yang adil, jujur, penuh kasih, dan bertanggung jawab. Seorang mukmin yang sejati bukan hanya mereka yang menjaga kehalalan makanannya dari babi, tetapi juga dari semua makanan yang bersumber dari harta haram. Bukan hanya mereka yang mengaku siap berjihad, tetapi juga yang tekun membaca, belajar, dan mengajarkan ilmu. Bukan hanya mereka yang khusyu’ dalam salat, tetapi juga yang menjaga kehusyukan hidup orang lain di luar salat.

Paradoks keimanan ini mestinya menjadi cermin bagi kita semua. Jangan sampai kita terjebak pada kesalehan yang semu—tampak taat di permukaan, tetapi lalai pada substansi. Kesalehan sejati lahir ketika iman berbuah pada istiqamah: konsisten dalam seluruh dimensi hidup. Inilah yang dimaksud Rasulullah: beriman kepada Allah, lalu berdirilah tegak.

Jika tidak, iman hanya akan menjadi topeng. Dan agama, yang mestinya menjadi jalan keselamatan, justru tereduksi menjadi paradoks yang menyesatkan. Wallahu a’lam.


0/Post a Comment/Comments