Ada cara
membaca puisi yang tidak menuntut pembedahan akademis, melainkan penyerahan
diri. Ia dibaca bukan sebagai teks yang harus ditaklukkan nalar, melainkan
sebagai "denyut batin," getaran yang hanya bisa disentuh dengan rasa.
Dalam mode pembacaan seperti inilah, antologi retrospektif Udo Z. Karzi, Kesibukan
Membuat Sejarah: 100 Sajak (1987-2025), menyingkapkan dirinya bukan sekadar
sebagai karya sastra, tetapi sebagai sebuah rumah—sebuah ruang kontemplasi bagi
jiwa-jiwa yang, seperti sang penyair sendiri, tengah bergulat dengan pertanyaan
fundamental tentang keberadaan.
Buku ini
adalah cermin bagi siapa saja yang pernah tercenung di hadapan dirinya dan
mengakui satu kebenaran pahit: "aku masih barang belum jadi."
Pengakuan yang ditulis Udo Z Karzi pada 1987 ini menjadi fondasi bagi seluruh
bangunan kepenyairannya, sebuah perjalanan panjang untuk memberi makna pada
eksistensi yang terasa belum selesai.
Perjalanan
itu dimulai dengan sebuah "damba," hasrat murni untuk menjadikan
hidup berarti "bagimu, ibu-bapakmu, temanmu / bagi siapa saja!"
Namun, damba luhur ini segera dibenturkan pada kesadaran akan ketiadaan karya
nyata, melahirkan rasa malu yang jujur. Kegelisahan ini berlanjut dalam
"Damba, 2," di mana harapan untuk "jelmakan mimpi-mimpi"
berhadapan dengan bisikan penundaan yang melumpuhkan: "biarlah nanti /
nanti, nanti, dan nanti."
Puisi-puisi
awal ini adalah potret otentik dari kondisi eksistensial manusia modern:
terombang-ambing antara kebebasan untuk bermimpi dan kecemasan yang melahirkan
kelumpuhan. Namun, justru dalam pengakuan akan ketidakberdayaan inilah Udo menemukan
titik berangkatnya. "Pemberontakan"-nya terhadap sastra Lampung yang
mapan, yang membuatnya dijuluki "Bapak Sastra Modern Lampung," adalah
sebuah tindakan nekat untuk keluar dari penundaan, sebuah upaya untuk
"menjadi" dengan cara membongkar dan memberi hidup baru pada
tradisinya.
Seiring
waktu, pergulatan internal ini meluas menjadi kesaksian atas dunia di
sekelilingnya. Etika jurnalistik yang terasah mempertajam perannya sebagai
saksi. Dalam "Seseorang yang Mati Menjelang Pilkada," ia
menyuarakan arwah kaum papa yang ironisnya baru dirayakan setelah tiada,
menelanjangi kepalsuan ritual politik yang berpesta di atas penderitaan.
Suaranya menjadi lebih tajam dalam "Aku Menolak Dicalonkan Jadi
Presiden," sebuah satire pedas yang membongkar absurditas kekuasaan
bukan dengan menyorot kelemahannya, melainkan justru dengan memuji "betapa
kerennya jabatan presiden" hingga tampak mustahil bagi manusia biasa untuk
menanggungnya tanpa hancur. Di sini, damba untuk berarti telah bertransformasi
dari urusan personal menjadi sebuah tanggung jawab etis untuk menyuarakan
kebenaran, betapapun pahitnya.
Kritik
sosial ini kemudian menyatu dengan elegi atas lanskap jiwa dan alam yang
terkikis. Sajak "Rasanya aku terlalu berharap pada laut"
adalah sebuah meditasi tentang laut sebagai sumber kehidupan, semangat, dan
kenangan. Laut adalah ruang sakral tempat "gairah baru pun
bermunculan."
Namun,
harapan dan kesakralan ini dihancurkan oleh sebuah kenyataan brutal: "ketika
laut dipagari dan dikapling-kapling." Pengkaplingan ini adalah
metafora dari modernitas yang merampas ruang komunal, baik fisik maupun batin,
mengubah sumber inspirasi menjadi komoditas. Ini adalah inti dari proyek
kontra-historiografi Udo Z Karzi: mencatat kehilangan-kehilangan yang tak
dianggap penting oleh narasi besar pembangunan.
Akhirnya,
membaca Kesibukan Membuat Sejarah adalah sebuah latihan eksistensial. Ia
mengajak kita kembali pada pertanyaan-pertanyaan awal yang mungkin telah lama
kita kubur: "apa yang ku kehendaki dalam hidup ini?" Karya-karya Udo menjadi
terapi, bukan karena menawarkan jawaban, melainkan karena menyediakan ruang
yang aman untuk hidup di dalam pertanyaan itu. Ia meyakinkan kita bahwa merasa
"belum jadi" bukanlah sebuah kegagalan, melainkan kondisi otentik
untuk menjadi manusia. Perjalanan kepenyairan Udo Z. Karzi adalah bukti bahwa
"kesibukan membuat sejarah" yang paling sejati adalah pergulatan
sunyi untuk memberi bentuk pada damba, mengubah ketercenungan di depan cermin
menjadi kesaksian yang berharga bagi sesama.
Posting Komentar